Sengketa Perbatasan
Rapat kerja Komisi II DPR RI Senin, (10/10) membahas tuduhan bahwa akibat
kelalaian pemerintah sekali lagi Indonesia kehilangan wilayah karena ‘dicaplok’ Malaysia.Isu yang ramai dibicarakan publik ini diangkat oleh anggota Komisi I (luar negeri, pertahanan, dan informasi) TB Hasanuddin (PDI-P) sebagaimana disiarkan meluas Minggu (9/10) bahwa Malaysia kembali mencaplok wilayah Indonesia di Kalimantan Barat.
Hasanuddin merujuk pada metoda penarikan garis untuk penetapan tapal-batas (patok) perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat yang dibuat dalam MoU Semarang 1978 yang menurutnya tidak sesuai dengan Traktat London tahun 1824 dengan penarikan garis natural. MoU Semarang. Metoda penarikan garis-lurus menguntungkan Malaysia dengan penambahan wilayah seluas kurang lebih 1400 hektar, katanya. .
Karena ‘kesalahan’ institusi pemerintah, tambah Hasanuddin, Indonesia juga
berpotensi rugi kehilangan 80 ribu meter persegi di pantai Tanjung Datu, juga karena patok bergeser. “MoU itu hasil kerja komisi Indonesia yang beranggotakan pejabat Kemdagri, Kemlu, dan Bakosurtanal. Apakah itu karena kelalaian kita atau mereka sendiri yang membiarkan wilayah kita dicaplok Malaysia? Saya tidak tahu,” katanya. Menurut Hasanuddin semua institusi pemerintah ini harus bertanggungjawab, termasuk pemerintah provinsi Kalimantan Barat yang wajib arus mengawasi wilayahnya dengan teliti.
Pendapat di atas dibenarkan oleh Jakarta Post (11/10), meskipun MoU 1978 itu belum mengikat secara hukum (legally binding) –karena belum diratifikasi– tetapi Malaysia
telah membuka Tanjung Datu National Park di tahun 1994.
Berkaitan dengan Pantai Camar Bulan, harian Equator (5/10) mengutip pendapat
penduduk bahwa pada tahun 1990 terjadi gelombang besar di sana sehingga mengikis (abrasi) garis batas laut sepanjang 60 meter. Akibatnya, jarak bibir pantai di tapal batas patok A 102 Indonesia-Malaysia di lokasi itu hanya tinggal 750 meter. Sekali lagi Malaysia diuntungkan dengan penambahan wilayah.
Benarkan? Mengenai kehilangan wilayah akibat abrasi (natural) telah dibantah
langsung oleh KSAL Laksamana Soeparno (Kompas, 12/10), yang menyatakan tidak ada masalah karena berdasarkan perjanjian kolonial kedua negara telah memasang memuat patok dan di sana telah didirikan mercusuar, milik Indonesia dan Malaysia, yang menjadi dasar penting untuk mencegah bergesernya batas wilayah laut.
Terlepas kontroversi bahwa di lapangan situasi telah bergeser jauh dari batas wilayah yang dicantunkan dalam berbagai dokumen hukum produk kolonial dan merugikan RI, sudah barang tentu ‘sengatan’ fraksi PDI-P menimbulkan suasana batin tidak enak bagi rakyat Indonesia yang masih ingat peristiwa Sipadan Ligitan, maupun Pulau Ambalat.
Sehingga, tidak kurang menteri Menko Polhukam dan jajaran menteri di bawah segera mengadakan temu pers, Senin (9/10) untuk menegaskan tidak ada wilayah RI yang ‘dicaplok’ Malaysia. Menko Polhukam menyatakan pihaknya telah mengadakan surveri lapangan dan memastikan tidak satupun tapal batas bergeser. “Indonesia tidak mengizinkan kehilangan bahkan 1 inci pun wilayahnya,” tegas Menko.
Pada hari berikutnya, anggota dewan Hasanuddin melunakkan pernyataannya, bahwa dengan MoU tersebut Indonesia berpotensi kehilangan wilayahnya 1400 hektar tanah di Camar Bulan dan 80 ribu meter persegi di pantai Tanjung Datu. Berpotensi artinya belum ada (atau terbuktikan) fakta bahwa kali ini Indonesia kembali ‘dicurangi’ Malaysia yang memiliki ambisi perluasan wilayah.
Baru dipersepsikan.
DALAM era informasi yang disebut “the paradox of plenty,” antara hitam dan putih
seyogianya jelas. Namun, ternyata banyak wilayah abu-abu. Sekarang orang begitu banyak dan mudah memperoleh data, tetapi ternyata memiliki keterbatasan untuk memilah-milah ‘mana emas, mana ‘loyang’. Dan, bila menyangkut wilayah negara atau kedaulatan, emosi rakyat gampang tersulut, dan mendorong terjadinya konflik militer, seperti terjadi di perbatasan Kamboja dan Thailand beberapa waktu yang lalu.
Ya. Isu di atas mengingatkan kita pada PM Thailand Abhisit. Ketika menjabat PM, Abhisit dalam menghadapi pemilu parlemen didesak oleh partai “Kaus Merah” yang dipimpin oleh Shinawatra bersaudara, Thaksin dan Yingluck, untuk menggunakan kekuatan militer dalam menyelesaikan masalah perbatasan dengan negeri tetangganya, Kamboja.
Konflik militer sempat pecah, dan ASEAN turun-tangan. Akhirnya partai Abhisit kalah, dan partai Kaus Merah berkuasa. Paradox-nya, hubungan Thailand dan Kamboja di tangan pemerintah partai Kaus Merah, menjadi akur kembali. Thaksin, abang
PMYingluck, adalah penasehat PM Kamboja sampai saat ini. Maka, jika persoalan Camar Bulan dan Tanjung Datu ini diangkat secara tidak proporsional, maka kemungkinan terburuk pun bisa terjadi.
Penggelaran angkatan perang? Bisa saja, seperti disarankan oleh warga Kalimantan Barat. Mungkin perang bukan skenario yang diinginkan PDI-P, tetapi dampak dari
insinuasi terhadap sesuai fenomena atau persepsi yang muncul karena kesalahpahaman bisa mengarahkan Indonesia menempuh cara perang karena emosional. Kali ini, perang seperti terjadi pada Kamboja-Thailand dalam setting Indonesia-Malaysia akan merugikan semua pihak, terutama kita sendiri. Harapan kita, tiada maksud PDI-P menyulut emosi rakyat atau mengalihkan perhatian ketika kita memberi waktu bagi Presiden SBY untuk berkonsentrasi menyusun kabinet (revisi), atau ketika isu kerugian negara yang dahsyat dalam isu ‘mafia anggaran’ perlu ditangani dengan secara hukum dan asas pemerintahan yang baik.
Mengapa ‘paradox of plenty?’, karena muncul banyak pemberitaan dan tanggapan di dunia maya maupun media cetak yang mengulas isu ‘pencaplokan wilayah’ ini, dan kita kerepotan memilah ‘mana emas, mana loyang’, karena emosi sudah tersulut. Kita disarankan menggunakan kekerasan yang sudah barang tentu tidak cocok di dalam format Indonesia yang demokratis dan sebagai negara terbesar di kawasan memiliki tanggung jawab dalam pemeliharaan perdamaian internasional, seperti diamanatkan UUD 1945.
Paradox of plenty”, aslinya adalah judul buku karya Harvey A Levenstain (1994) yang mencemaskan mengapa di negara-negara yang kaya dengan sumber daya alam,
mineral menjadi miskin papa. Kebanyakan resources tidak selalu menguntungkan, bilamana tidak dikelola dengan baik. Ini juga menggambarkan negeri kita yang kaya raya dan luas, dan bilamana tidak dijaga dan dikelola dengan baik tidak akan membawa manfaat, bahkan ‘curse’ seperti dikatakan oleh Levenstain. Era ‘paradox of plenty’ juga lebih diramaikan oleh apa yang disebut mantan menlu Hassan Wirajuda sebagai era ‘megaphone diplomacy’.
Megaphone diplomacy harus dicegah. Publik kita belum tentu memiliki informasi cukup dan benar tentang isu, termasuk negosiasi yang sedang berlangsung antara pemerintah kita dengan Malaysia. Merujuk pada pengalaman Kamboja-Thailand di atas, publik tidak boleh dibiarkan mendikte sikap pemerintah dalam kaitan hubungan luar negeri. Ini berpotensi untuk menjadi ‘counter productive’ terhadap perjuangan kita di dalam memastikan batas negara yang sah dan berdaulat.
Dalam konteks ini, peringatan (warning) anggota Komisi I DPR RI itu berfungsi sebagai ‘wake up call’. Bermanfaat. “Tidak ada sengketa wilayah antara kita dengan Malaysia, karena kedua pihak menggunakan referensi yang sama. Bila menyangkut batas negara, kita menggunakan perjanjian yang dibuat oleh Belanda dan Inggeris pada tahun 1891, 1915 and 1928,” ujar Menlu Marty Natalegawa.
Menurut Menlu, memang merupakan kewajiban bagi Indonesia dan Malaysia [sebagai successor parties] untuk menindaklanjuti isi dan semangat perjanjian kolonial itu
ke dalam persetujuan bilateral yang mengatur secara rinci situasi di lapangan, termasuk penetapan atau pemasangan tapal-batas di sepanjang garis demarkasi. Indonesia mewarisi wilayah negara dari penjajah Belanda (1945) sedangkan Malaysia mewarisi wilayah dari Inggeris (1957).
Karena itu kedua pihak telah melakukan rangkaian perundingan bilateral yang menghasilkan apa yang disebut sebagai MoU 1978. MoU ini belum diratifikasi oleh kedua negara, berarti belum berlaku. Tetapi, di sinilah pangkal persoalannya, menurut anggota DPR Tb Hasanuddin. Era ‘paradox of plenty’ bukan pula berarti karena kita memiliki banyak pulau dan wilayah yang luas kita dengan gampang melepas, wilayah kedaulatan NKRI.
***
BAGAIMANA seyogianya kita menyikapi sekiranya terjadi ‘gap’ antara ketentuan yang terdapat pada perjanjian internasional (termasuk buatan pemerintah kolonial Belanda dengan Inggeris) dengan dinamika atau perubahan natural di lapangan?
Pertama, kita perlu mengenali adanya perbedaan dalam ‘nature’ batas-wilayah RI –
Malaysia, antara batas darat dan batas laut. Batas wilayah darat dengan mudah dan benar ditetapkan, berdasarkan koordinat yang telah ditetapkan dalam perjanjian kolonial Inggeris – Belanda. Sekiranya ada ‘kekeliruan’ dengan mudah dikoreksi berdasarkan asas ‘in good faith’ dan ‘bertetangga baik’.Berbeda halnya dengan batas laut yang mungkin bergeser karena perbuatan alam.
Rejim delimitasi laut berbeda dengan darat. Perjanjian kolonial yang mengatur batas-
laut dibuat berdasarkan Konvensi Hukum Laut Jenewa 1958 yang hanya mengatur ‘laut wilayah 3-mil’. Konvensi PBB Hukum Laut 1982 yang telah berlaku sejak 1994, Indonesia dan Malaysia telah menjadi pihak, tidak hanya memperluas laut wilayah menjadi 12 mil, tetapi juga membuat berbagai rejim terkait, seperti landas kontinen, zona ekonomi eksklusif, negara kepulauan, lingkungan hidup dan sebagainya.
Berdasarkan penjelasan KSAL di atas, batas laut kita dengan Malaysia di Tanjung
Datu tidak berubah meskipun telah terjadi abrasi pantai. Acuannya adalah beberapa mercusuar yang sengaja dibangun oleh Indonesia dan Malaysia di kawasan itu. Memang ada masalah yang perlu dirumuskan secara hukum terutama berkaitan dengan pengaturan kembali delimitasi laut sebagai implikasi berlakukan Konvensi PBB 1982.
Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Linggawati Hakim mengatakan perundingan dengan Malaysia soal Laut Wilayah dan ZEE di Tanjung Datu baru akan dilaksanakan 16-18 Oktober 2011 mendatang. Harap dicatat, perundingan di sini bukan maksudnya untuk ‘mengompromikan’ apa yang telah sah menjadi hak Republik Indonesia, tetapi lebih merupakan pengaturan secara detil di lapangan, termasuk penetapan koordinatnya.
Kedua, isunya merupakan perdebatan hukum, bukan domain politik apalagi militer.
Maka, sekiranya ada perbedaan atau kekeliruan dalam penetapan tapal-batas di lapangan verifikasi dulu, seperti disarankan oleh semua fraksi, termasuk Partai Demokrat. Sekiranya terdapat ‘gap’, mari kita selesaikan melalui cara-cara damai. Berdasarkan asas ini, apa yang menjadi ‘bones of contention’ dapat diselesaikan berdasarkan ‘political will’ yang kuat dari kedua pihak di meja perundingan dengan semangat ‘in good faith’.
Berkaitan dengan batas-laut, sebagai akibat dari berlakukan Konvensi Hukum Laut 1982 timbul berbagai persoalan Indonesia dengan negara-negara tetangganya. Tentu saja, negosiasi dan pengukuran di lapangan membutuhkan banyak waktu dan biaya, dan memerlukan kesabaran. Menurut Direktur Perjanjian Politik dan Keamanan, Kemlu, Rachmat Budiman kepada Antara, secara serentak, pasca berlakunya Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982, Indonesia merundingkan masalah perbatasan dengan Malaysia dan Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Thailand dan India.
Yang paling intensif adalah perundingan Indonesia dengan Singapura dan dengan Malaysia. Dengan Vietnam, Indonesia sedang merundingkan proses garis batas zona ekonomi eksklusif. Perundingan dengan Filipina masih menunggu karena adanya konflik internal di Filipina berkaitan dengan penentuan titik koordinat baru. Sementara dengan Republik Palau pertemuan sudah digelar dua kali, namun belum menghasilkan kesepakatan. Selain itu, sambungnya, Indonesia juga sedang melakukan penjajakan dengan India dan Thailand terkait penetapan batas ZTE.
Ketiga, tidak benar pemerintah lalai menyelesaikan perundingan untuk memperoleh
hak adil dan berdaulat bagi kepentingan NKRI yang berkaitan dengan kewilayahan.
Keempat, di samping memiliki dasar hukum yang kuat, Indonesia sebagai negara
berdaulat berhak menyatakan apakah perundingan perbatasan dengan negara tetangga telah memenuhi kepentingan nasional.
Perunding di lapangan selalu menyisipkan, bahwa hasil perundingan dicapai ‘ad
referendum’ artinya kesepakatan baru berada di tahap perunding, yang akan dimintakan persetujuan ke otoritasnya. UU No. 24/2000 merupakan pagar pengaman politis bagi DPR RI untuk menyatakan pendapatnya, apakah hasil perundingan sudah sesuai dengan kepentingan nasional.
Jika dianggap melanggar politik luar negeri atau merugikan kepentingan nasional maka DPR RI bisa menolak untuk meratifikasi hasil perundingan itu. Diplomat dalam perundingan selalu menyatakan kepada counter-part mereka, ‘nothing agreed, until everty thing is agreed’. Jadi apa yang diputuskan oleh juru-runding di meja negosiasi masih bisa dimentahkan oleh atasan sampai tingkat presiden. Dan, apapun yang telah disetujui presiden di era demokratis Indonesia– masih bisa ditolak oleh DPR selaku representasi rakyat Indonesia. Kita memiliki jaring pengaman baik di dalam maupun di luar
negeri
Top of Form Bottom of Form Friday, October 14th, 2011 |
Komentar Penulis :
Perang bukanlah sesuatu yang harus dihindari atau ditakuti Indonesia
Kalau menyangkut kedaulatan terhadap pulau-pulau terluar NKRI, maka terjadinya
Perang adalah jalan terakhir. Kalau Damai terus, Kapan Menangnya. Dipihak lain negara-negara tetangga terus merongrong Kedaulatn NKRI soal Pulau-pulau Terluar.
Apakah kita diam saja? Kita harus berpegang pada Dasar Hukum dimana semua Pulau-pulau Terluar sudah terdaftar dalam Peraturan Pemerintah (PP) yang menegaskan 92 pulau perbatasan dan 12 pulau terluar adalah milik syah NKRI. Dengan demikian tidak terdapat Pulau atau wilayah Sengketa dengan negara-negara tetangga terutama dengan negara-negara ASEAN di belahan Utara.
Prinsip ini harus dipegang oleh Menlu RI. Apabila Menlu RI menyatakan sebagai pulau sengketa, maka hal itu merupakan suatu kesalahan besar dan fatal, seolah-olah PP tentang pulau-pulau terluar tersebut adalah PALSU dan Tidak Benar atau disangsikan keabsahannya Dengan demikian tidak perlu dilakukan perundingan dengan negara namapun. Bahwa perundingan RI – Malaysia yang berlangsung sekarang adalah suatu tindakan salah langkah. Dan jalan yang terbaik adalah mengundurkan diri dari meja perundingan dan menyatakan tetap mempertahankan pulau-pulau terluar tersebut. Dan setelah itu kita menunggu reaksi dari Malaysia, dan jalan terakhir adalah Perang.
SARAN ; Menlu RI sebelum mengadakan berbagai perundingan dengan pihak luar negeri, seharusnya berkonsultasi lebih dahulu dengan Komisi DPR RI, sehingga
merupakan kesepahaman pendapat terhadap hal-hal yang akan dibicarakan di luar negeri. Hal ini sangat diperlukan, olah karena untuk menghindari kesalahan yang dibuat oleh Menlu yang hanya berdasarkan kemampuan daya nalarnya sendiri.
Contoh : Ketika Mantan Menlu RI Ali Alatas membuat MOU 1974, antara RI – Australia tentang Batas Perairan dua negara, ternyata tanpa berkonsultasi dengan pihak DPR RI, Pemda NTT, maupun Masyarakat Adat Suku Rote di NTT menyangkut Pulau Pasir (Ashmore Reef) yang masih wilayah Kabupaten Rote, NTT, ikut diserahkan ke Australia. Dengan demikian Indonesia kehilangan 85% perairannya di selatan Indonesia.Hal serupa supaya tidak terjadi lagi.
Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.