Sengketa Perbatasan
Aug 26, '10
11:08 PM Alex Retraubun
Di saat
bangsa Indonesia dalam suasana memperingati HUT ke-65 RI, kita dikejutkan lagi
dengan kasus perbatasan dengan Malaysia di mana tiga aparatur pengawas sumber
daya kelautan dan perikanan disandera.
Kasus ini
merupakan kasus perbatasan yang kesebelas. Reaksi heroik publik pun muncul
dengan seruan-seruan untuk mengganyang negara tetangga tersebut. Tulisan ini
mengulas kasus-kasus perbatasan selama ini secara singkat dan apa yang harus
pemerintah lakukan ke depan.
Kasus-kasus
perbatasan
Menurut
catatan penulis selama delapan tahun terakhir, telah terjadi sembilan kasus di
perbatasan, baik laut maupun darat.
Pertama,
kasus Pulau Sipadan dan Ligitan (dua pulau terluar kita sebelumnya) di mana
oleh Mahkamah Internasional telah diputuskan menjadi milik Malaysia sejak tahun
2002.
Kedua,
kasus Ambalat yang merupakan upaya Malaysia mengklaim wilayah perairan yang
disebut Blok Ambalat karena pada landas kontinen kawasan tersebut terdapat
tambang mineral strategis. Kasus ini berkaitan dengan kasus pertama karena pada
saat kedua pulau tersebut menjadi milik Malaysia terjadi kekaburan batas
maritim di kawasan itu sehingga negara tetangga ini mencoba memanfaatkan
kekaburan itu sampai akhirnya Indonesia menetapkan titik dasar (base point)
baru di Karang Ungaran (suatu elevasi pasang surut (drying reef). Perundingan
pun sampai sekarang belum selesai.
Ketiga,
Kasus Pulau Mangudu dan Bidadari, pulau terluar di Nusa Tenggara Timur (NTT)
yang berhubungan dengan investor asing yang berinvestasi secara ilegal di sana.
Keempat,
Kasus Gosong Niger, suatu wilayah konservasi yang coba diklaim sebagai wilayah
Malaysia dalam hal tanda-tanda batas kita jelas sekali di kawasan tersebut.
Kelima,
Pulau Pasir (Ashmore Reef) yang diklaim oleh masyarakat NTT sebagai miliknya
walaupun secara yuridis telah menjadi milik Australia sejak masa pemerintahan
Soeharto.
Keenam,
kasus Pulau Miangas yang dikhawatirkan diklaim Filipina, tapi ternyata
kekhawatiran tersebut terlalu berlebihan.
Ketujuh,
kasus Laskar Watania di mana Malaysia melakukan rekrutmen masyarakat perbatasan
di Kalimantan menjadi laskar mereka karena kepentingan survival ekonomi mereka
di kawasan ini.
Kedelapan,
kasus pergeseran batas darat kita secara fisik sekitar hampir satu kilometer
masuk ke wilayah kita alias memperluas wilayah Malaysia.
Kesembilan,
Kasus Pulau Makaroni, Siloinak, dan Kandui (pulau-pulau perbatasan) di
Kabupaten Mentawai, Sumatera Barat, yang dibeli oleh investor asing.
Kesepuluh,
Pulau Jemur di Provinsi Riau yang tahun lalu dicoba diklaim oleh Malaysia,
padahal pulau tersebut berada di belakang pulau terluar kita di kawasan
tersebut.
Kesebelas,
kasus terakhir yang masih segar dalam ingatan kita, yaitu penyanderaan aparatur
pengawas sumber daya kelautan dan perikanan perbatasan kita oleh Malaysia
sebagai balasan terhadap penangkapan nelayan Malaysia yang memasuki wilayah
perairan kita secara ilegal.
Fakta-fakta
tersebut mengindikasikan hampir setiap tahun terjadi minimal satu kasus di
perbatasan di mana kasus dengan Malaysia terjadi dengan frekuensi cukup tinggi,
yaitu enam kasus. Dengan frekuensi seperti ini kita patut mengkritisi
mengapa ada kecenderungan Malaysia melakukan hal seperti ini. Yang pasti kita
sepertinya dianggap sepele karena yang bersangkutan tahu betul kelemahan kita.
Dengan kata lain, posisi tawar kita sangat lemah di mata negara ini.
Ambil contoh
sederhana saja, isu-isu tentang tenaga kerja kita yang mencari hidup di sana,
baik yang legal maupun ilegal.
Jika
ditelaah, maka belahan utara NKRI relatif memiliki tingkat kerawanan lebih
tinggi dibandingkan belahan selatan. Mengapa? Karena di belahan utara kita
berhadapan dengan lebih banyak negara di samping relatif berdekatan sehingga
aktivitas ilegal banyak terjadi. Walaupun kedekatan itu sendiri dapat dilihat
sebagai peluang ekonomi kawasan.
Negara-negara
tersebut (8 dari 10 negara yang berhubungan dengan perbatasan laut) antara lain
India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Palau, dan Papua
Niugini. Sementara di selatan kita hanya berhubungan dengan Timor Leste dan
Australia. Karena itu, fokus pengawasan kita seharusnya pada belahan utara.
Motivasi kasus-kasus ini semuanya bersumber dari kepentingan potensi sumber
daya alam yang kita sendiri tidak mampu mengelolanya sehingga dimanfaatkan oleh
pihak lain secara ilegal.
Pekerjaan
rumah
Banyak
kritikan di media seolah-olah selama ini pemerintah tidak melakukan apa-apa di
wilayah perbatasan. Apakah memang benar demikian? Rasanya tidak benar kalau
dikatakan pemerintah belum berbuat sama sekali. Bahwa yang dibuat belum
optimal, itu ada benarnya.
Isu
perbatasan sebenarnya mulai mencuat bersamaan dengan lahirnya Departemen
Kelautan dan Perikanan pada tahun 2000. Lima tahun sesudahnya, barulah Susilo
Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla merespons dengan melahirkan kebijakan pertama
perbatasan lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 78 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar.
Keluaran dari
perpres ini berupa simbol-simbol negara, seperti disebarkannya marinir-marinir
di pulau terluar, munculnya puskesmas-puskesmas, dibangunnya gudang sembako,
dibukanya jalur transportasi, dibangunnya sarana bantu navigasi, pemekaran
kecamatan perbatasan, kunjungan pejabat untuk upacara HUT kemerdekaan seperti
dilakukan di Pulau Kisar beberapa hari lalu, sampai tersedianya data dan
informasi kawasan ini yang lengkap.
Walaupun
demikian, harus diakui apa yang telah dilakukan tidak konsisten, bahkan menurun
menurut waktu. Ini menjadi tren umum di negara kita.
Selanjutnya,
dari 11 kasus tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga isu utama perbatasan,
yaitu delimitasi/demarkasi (kepastian batas secara fisik), penegakan hukum, dan
kesenjangan
pembangunan.
Tugas pemerintah mengurusi ketiga isu tersebut.
Tentu dengan
adanya pembangunan di perbatasan sebagai prioritas KIB II sampai tahun 2014,
semua isu itu dapat diformulasikan secara terukur melalui program dan kegiatan
setiap instansi, baik pusat maupun daerah, dengan pengawasan yang konsisten
sehingga dampaknya benar-benar terasa. Sekarang tidak perlu lagi seminar dan
workshop tentang isu-isu ini karena semua permasalahan sudah jelas. Aksilah
yang urgen dilakukan.
Aksi yang
penting dilakukan semestinya memfungsikan Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan
yang telah dilegalkan sebagai perintah UU No 43/2008 tentang Wilayah Negara
sesuai Perpres No 12/2010 yang diketuai oleh Mendagri. Dengan difungsikannya
kelembagaan ini, maka perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian kawasan ini
dapat lebih fokus di bawah kendali Menko Polhukam termasuk di dalamnya agenda
penamaan pulau yang sampai sekarang belum tuntas. Semoga.
Sumber :Alex
Retraubun Alumnus PPRA 42 Lemhanas RI; Mantan Dirjen Kelautan, Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan; kini Wakil Menteri
Perindustrian
Aug 26, '10
11:08 PM Alex Retraubun
Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.