alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Minggu, 01 Maret 2015

HUKUM LAUT INTERNASIONAL DAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN

13 October 2014 - dalam HUKUM INTERNASIONAL Oleh devi-anggraini-fisip12
Tidak ada cabang hukum internasional yang lebih banyak mengalami perubahan secara revolusioner selain perkembangan hukum laut dan jalur-jalur maritim. Pada awalnya, pelayaran di laut bebas terbuka bagi setiap orang demikian pula dengan penangkapan-penangkapan ikan, akan tetapi pada abad keenam belas periode-periode dimana terjadi penemuan maritim akbar oleh para pelaut Eropa dan klaim-klaim yang dikemukakan oleh negara maritim dengan tujuan untuk melaksanakan kedaulatan, yang mana hal ini tidak dapat dibedakan dari pemilikan atas bagian-bagian tertentu dari laut bebas.
Seorang Grotius merasa sangat keberatan dengan adanya klaim-klaim kedaulatan tersebut dengan berlandaskan dua faktor; pertama, tidak ada lautan yang dapat menjadi milik suatu bangsa atau negara karena tidak mungkin bagi suatu negara untuk secara efektif mengambilnya sebagai hal milik dengan cara okupasi. Faktor kedua, alam tidak memberikan hak kepada siapapun untuk memiliki sarana yang dapat dimanfaatkan oleh setiap orang serta sifatnya tidak dapat habis, atau dengan kata lain laut lepas adalah hak semua bangsa (Starke, 2014: 322).
Berdasarkan sejarah awal adanya klaim-klaim negara terhadap laut lepas, maka perarturan yang membahas mengenai wilayah laut semakin masif setelahnya. Konferensi hukum laut PBB yang pertama diselenggarakan di Jenewa tanggal 24 Februari 1958 sampai dengan 27 April 1958, dan tugas yang berhasil diselesaikan dimuat dalam empat buah konvensi yaitu, konvensi tentang laut teritorial dan jalur tambahan, konvensi tentang laut lepas, konvensi tentang perikanan dan konservasi sumber-sumber daya hayati di laut lepas, serta konvensi mengenai landasan kontinen.
Sesudah berakhirnya konferensi 1958, Majelis Umum melalui resolusi yang dikeluarkan tanggal 10 Desember 1958 meminta Sekretaris Jenderal PBB untuk menyelenggarakan konferensi PBB mengenai hukum laut yang kedua untuk membahas lebih lanjut mengenai dua masalah yang belum selesai yaitu, lebar laut teritorial dan batas wilayah penangkapan ikan. Lebih dari 80 negara diwakili pada konferensi PBB yang kedua ini, yang diselenggarakan di Jenewa pada tanggal 16 Maret 1960 sampai dengan 26 April 1960, dengan hasil yang tidak begitu meyakinkan menyangkut kedua masalah tersebut (Strake, 2014: 332-333).
Hasil akhir dari berbagai perkembangan yang timbul dikemudian hari adalah dengan dikeluarkannya dua resolusi penting oleh Majelis Umum pada tanggal 17 Desember 1970, yakni Deklarasi Prinsip-Prinsip yang  mengatur Dasar Laut dan Dasar Samudera serta Tanah dibawahnya diluar Batas Yurisdiksi Nasional (Declaration of Principles Governing the Seabed and Subsoil Thereof beyond the Limits of National Jurisdiction) dan keputusan untuk menyelenggarakan konferensi PBB ketiga mengenai Hukum Laut pada tahun 1973 yakni UNCLOS (United Nations Conference on the Law of the Sea).
Konferensi PBB ketiga mengenai hukum laut sangat luas, meliputi pembentukan rezim internasional untuk mengatur kawasan, definisi yang tepat dari kawasan, dan “suatu ruang lingkup yang luas mengenai masalah-masalah yang berkaitan rezim hukum laut lepas, landas kontinen, laut teritorial dan jalur tambahan, perikanan dan konservasi sumber-sumber daya alam hayati di laut lepas, pelestarian lingkungan laut dan penelitian ilmiah” (Starke, 2014: 341-342).
Konvensi PBB tentang hukum laut (UNCLOS 1982) melahirkan beberapa pokok pengaturan (rezim) hukum laut, yaitu perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif (ZEE), landas kontinen, laut lepas, dan selat yang digunakan untuk pelayaran internasional. Wilayah laut pedalaman adalah wilayah laut di sisi daratan dari garis pangkal. Garis pangkal ini ialah garis yang digunakan sebagai pangkal pengukuran lebar wilayah laut teritorial (Sefriani, 2011; Istanto, 2010).
Pada Pasal 46 dalam konvensi PBB tentang hukum laut, menyatakan bahwa istilah ‘kepulauan’ berarti suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan diantara pulau-pulau tersebut, dan wujud-wujud alamiah lainnya yang satu sama lain bereratan sehingga membentuk satu kesatuan geografis, ekonomi, dan politik yang hakiki. Negara kepulauan didefinisikan untuk memberi arti, ‘suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan yang dapat mencakup pulau-pulau lain’.
Metode garis pangkal lurus dipakai sebagai solusi untuk masalah perairan kepulauan (Starke, 2014: 353). Ketentuan mengenai laut teritorial dan zona tambahan diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 33. Dalam ketentuan ini, batas laut teritorial tidak melebihi batas 12 mil laut diukur dari garis pangkal sepanjang pantai negara tersebut.
Akan tetapi, keadaulatan negara pantai dibatasi oleh hukum internasional dengan ditetapkannya Hak Lintas Damai yakni hak bagi kapal asing di wilayah tersebut dan kewajiban negara pantai untuk memberitahu kepada kapal asing yang lewat tentang bahaya navigasi yang diketahui (Istanto, 2010: 54).
Mengenai zona tambahan, menentukan bahwa negara pantai dalam zona tersebut bisa melaksanakan pengawasan yang diperlukan guna mencegah pelanggaran undang-undang menyangkut bea cukai, fiskal, imigrasi, dan saniter dalam wilayahnya, namun tidak boleh lebih dari 24 mil (Manuputy et al., 2008: 94). Zona ekonomi eksklusif (ZEE) adalah suatu zona selebar tidak lebih dari 200 mil laut dari garis pangkal. Dalam zona ini negara pantai memilliki hak-hak berdaulat yang eksklusif untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam serta yurisdiksi tertentu terhadap pertama, pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi, dan bangunan; kedua, riset ilmiah kelautan; dan ketiga, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut (Sefriani, 2011: 215-216).
Ketentuan tentang landas kontinen diatur dalam Pasal 76 UNCLOS 1982. Dalam ketentuan ini telah ditentukan bahwa landas kontinen suatu negara pantai tidak boleh melebihi batas 200 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur. Landasan kontinen suatu  negara adalah tanah wilayah laut yang menjulur ke luar wilayah laut teritorial sebagai kelanjutan alami dari wilayah daratan negara tersebut (Istanto, 2010: 55-56).
Berdasarkan ketentuan UNCLOS Pasal 86 (Starke, 2014: 360), apa yang dianggap sebagai laut lepas hanya berlaku terhadap semua bagian laut yang tidak termasuk dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE), laut teritorial atau perairan pedalaman negara-negara atau ke dalam perairan negara-negara kepulauan. Serta pada Pasal 87 menyatakan bahwa, laut lepas sepenuhnya terbuka bagi semua negara baik yang berpantai maupun tidak; yaitu kebebasan pelayaran, penerbangan diatasnya, pemasangan kabel-kabel dan pipa-pipa bawah laut, pembangunan pulau buatan dan instalasi lainnya, penangkapan ikan, serta riset ilmiah.
Semua kebebasan tersebut harus dilaksanakan dengan memperhatikan kepentingan negara lain yang melaksanakan kebebasan-kebebasan yang sama. Penjelasan pokok UNCLOS selanjutnya yakni mengenai selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, ketentuan ini diatur dalam Pasal 41. Rezim lalu lintas melalui selat-selat yang digunakan untuk pelayaran internasional tak mempengaruhi status hukum perairannya atau pelaksanaan kedaulatan oleh negara yang berbatasan dengan selat-selat tersebut terhadap perairan, dasar laut, tanah dibawahnya, serta ruang udara diatasnya (Manuputy, 2008: 94).
 Sebagai negara kepulauan, Indonesia termasuk negara yang paling diuntungkan dengan keberadaan UNCLOS. Dalam hubungannya dengan yurisdiksi negara atas wilayah lautnya, Indonesia telah menetapkan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang dijadikan sebagai patokan rute pelayaran internasional yang akan melintasi laut wilayah Indonesia.
Konvensi PBB tentang hukum laut 1982 (UNCLOS) Pasal 53 menyatakan bahwa sebagai negara kepulauan, Indonesia dapat menentukan alur laut untuk lintas kapal dan pesawat udara asing yang terus menerus dan langsung serta secepat mungkin melalui atau diatas perairan kepulauan dan teritorial yang berdampingan dengannya (Manuputy et al. 2008: 95).
Indonesia memperoleh tambahan wilayah yang signifikan dengan diakuinya hak negara kepulauan untuk menarik garis dasar lurus kepulauan menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar. Perairan yang semula laut bebas menjadi perairan kepulauan. Perairan laut Indonesia bertambah sekitar 2.7 juta km2, dan sebagai konsekuensi diperolehnya perairan kepulauan ini negara kepulauan harus menetapkan dan mengumumkan alur laut kepulauannya bagi kapal asing. Indonesia melalui Pasal 2 PP Nomor 37 Tahun 2002 telah menetapkan bahwa kapal dan pesawat udara asing dapat melaksanakan Hak Lintas melalui Alur laut Kepulauan (ALK) untuk pelayaran atau penerbangan dari satu bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif ke bagain lain laut bebas atau zona ekonomi eksklusif melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia (Sefriani, 2011: 217).
Alur Laut Kepulauan Indonesia yang telah ditetapkan melalui PP No. 37 tersebut, terdiri dari tiga alur yaitu ALKI I, ALKI II, dan ALKI III. ALKI I yaitu alur kepulauan yang dapat dipergunakann untuk melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan untuk pelayaran dari Laut Cina Selatan ke Samudera Hindia atau sebaliknya, melintasi Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa, dan Selat Sunda. ALKI II, yaitu alur laut kepulauan yang dipergunakan untuk melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan untuk pelayaran dari Laut Sulawesi ke Samudera Hindia atau sebaliknya, melintasi Selat makassar, Laut Flores, dan Selat Lombok.
ALKI III tidak seperti ALKI sebelumnya, ALKI ini terbagi menjadi ALKI A-ALKI E. ALKI A adalah alur laut kepulauan yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan untuk pelayaran dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia atau sebaliknya, melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Bandam Selat Ombai, dan Laut Sawu. ALKI B adalah rute untuk pelayaran dari Samudera Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, dan Selat Leti ke Laut Timor atau sebaliknya. ALKI C menyatakan rute untuk pelayaran dari samudera Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut Seram, dan laut Banda ke Laut Arafura atau sebaliknya. ALKI D merupakan rute untuk pelayaran dari Samudera Pasifik melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, dan Laut Sawu sebelah Timur Pulau Sawu ke Samudera Hindia atau sebaliknya.
Terakhir ALKI E menjelaskan rute untuk pelayaran dari Sulawesi melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, dan Laut Sawu sebelah Barat Pulau Sawu atau Laut Sawu sebelah Timur Pulau Sawu ke Samudera Hindia atau sebaliknya (Manuputy, 2008: 96-97; Sefriani, 2011: 218).
Dari paparan diatas, hukum laut internasional memang telah mengalami perkembangan yang sangat revolusioner yang ditandai dengan banyaknya konferensi dalam mengatur ketentuan laut internasional. Penandatanganan akhir pada tanggal 10 Desember 1982 di Montego Bay-Jamaika dalam konferensi PBB ketiga tentang hukum laut 1973-1982 (UNCLOS) berhasil menyusun suatu ketentuan hukum internasional yang komprehensif berkaitan dengan hukum laut di bawah judul Konvensi PBB mengenai Hukum Laut.
Menurut Starke (2014: 322), UNCLOS 1982 merupakan perkembangan paling penting dalam keseluruhan sejarah ketentuan hukum internasional berkenaan dengan lautan bebas. Indonesia adalah negara kepulauan dengan kekayaan sumber daya kelautan yang besar. Negara Kesatuan Republik Indonesia juga merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan memiliki kurang lebih 17 ribu pulau dengan luas lautnya mencapai 5.8 juta km2 dan garis pantai sepanjang 95.181 km2.
Sebagaimana diatur dalam UNCLOS 1982, Indonesia sebagai negara kepulauan merupakan satu kesatuan wilayah yurisdiksi yang berdaulat serta mempunyai hak dan wewenang penuh yang diakui dunia internasional, untuk mengatur, mengelola dan memanfaatkan kekayaan laut yang dimilikinya bagi kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Kehidupan di negara kepulauan memilliki karakteristik maritim, yaitu perkehidupan yang memanfaatkan laut sebagai sumber hidupnya. Sumber daya laut dari sudut ekonomi mempunyai keunggulan komparatif, sedangkan posisinya dapat menjadi keunggulan positif. Secara geografis posisi Indonesia sagat penting artinya bagi lalu lintas pelayaran internasional (Pujayanti, t.t: 3-4).
REFERENSI
Istanto, Sugeng. 2010. Hukum Internasional. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Manuputy, et al., 2008. Hukum Internasional. Depok: Rech-ta
Pujayanti, Adirini. t.t. Budaya Meritim, Geo-Politik dan Tantangan Keamanan Indonesia, [online] dalam http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-3.pdf [diakses 12 Oktober 2014]
Sefriani. 2011. Hukum Internasional Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Starke, J.G. 2014. Pengantar Hukum Internasional (terj. Bambang Iriana Djajaatmadja,Intrroduction to International Law). Jakarta: Sinar Grafika
Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.