Tidak ada cabang
hukum internasional yang lebih banyak mengalami perubahan secara revolusioner
selain perkembangan hukum laut dan jalur-jalur maritim. Pada awalnya, pelayaran
di laut bebas terbuka bagi setiap orang demikian pula dengan
penangkapan-penangkapan ikan, akan tetapi pada abad keenam belas
periode-periode dimana terjadi penemuan maritim akbar oleh para pelaut Eropa
dan klaim-klaim yang dikemukakan oleh negara maritim dengan tujuan untuk
melaksanakan kedaulatan, yang mana hal ini tidak dapat dibedakan dari pemilikan
atas bagian-bagian tertentu dari laut bebas.
Seorang Grotius
merasa sangat keberatan dengan adanya klaim-klaim kedaulatan tersebut dengan
berlandaskan dua faktor; pertama, tidak ada lautan yang dapat menjadi milik
suatu bangsa atau negara karena tidak mungkin bagi suatu negara untuk secara
efektif mengambilnya sebagai hal milik dengan cara okupasi. Faktor kedua, alam
tidak memberikan hak kepada siapapun untuk memiliki sarana yang dapat
dimanfaatkan oleh setiap orang serta sifatnya tidak dapat habis, atau dengan
kata lain laut lepas adalah hak semua bangsa (Starke, 2014: 322).
Berdasarkan sejarah
awal adanya klaim-klaim negara terhadap laut lepas, maka perarturan yang
membahas mengenai wilayah laut semakin masif setelahnya. Konferensi hukum laut
PBB yang pertama diselenggarakan di Jenewa tanggal 24 Februari 1958 sampai dengan 27 April 1958, dan tugas yang
berhasil diselesaikan dimuat dalam empat buah konvensi yaitu, konvensi tentang
laut teritorial dan jalur tambahan, konvensi tentang laut lepas, konvensi
tentang perikanan dan konservasi sumber-sumber daya hayati di laut lepas, serta
konvensi mengenai landasan kontinen.
Sesudah berakhirnya
konferensi 1958, Majelis Umum melalui resolusi yang dikeluarkan
tanggal 10 Desember 1958 meminta Sekretaris Jenderal PBB untuk
menyelenggarakan konferensi PBB mengenai hukum laut yang kedua untuk membahas
lebih lanjut mengenai dua masalah yang belum selesai yaitu, lebar laut
teritorial dan batas wilayah penangkapan ikan. Lebih dari 80 negara diwakili
pada konferensi PBB yang kedua ini, yang diselenggarakan di Jenewa pada tanggal
16 Maret 1960 sampai dengan 26 April 1960, dengan hasil yang tidak begitu meyakinkan
menyangkut kedua masalah tersebut (Strake, 2014: 332-333).
Hasil akhir dari
berbagai perkembangan yang timbul dikemudian hari adalah dengan dikeluarkannya
dua resolusi penting oleh Majelis Umum pada tanggal 17 Desember 1970, yakni Deklarasi
Prinsip-Prinsip yang mengatur Dasar Laut dan Dasar Samudera serta Tanah
dibawahnya diluar Batas Yurisdiksi Nasional (Declaration of Principles Governing the Seabed and
Subsoil Thereof beyond the Limits of National Jurisdiction) dan keputusan
untuk menyelenggarakan konferensi PBB ketiga mengenai Hukum Laut pada tahun 1973 yakni UNCLOS (United Nations
Conference on the Law of the Sea).
Konferensi PBB
ketiga mengenai hukum laut sangat luas, meliputi pembentukan rezim
internasional untuk mengatur kawasan, definisi yang tepat dari kawasan, dan
“suatu ruang lingkup yang luas mengenai masalah-masalah yang berkaitan rezim
hukum laut lepas, landas kontinen, laut teritorial dan jalur tambahan,
perikanan dan konservasi sumber-sumber daya alam hayati di laut lepas,
pelestarian lingkungan laut dan penelitian ilmiah” (Starke, 2014: 341-342).
Konvensi PBB
tentang hukum laut (UNCLOS 1982) melahirkan beberapa pokok pengaturan (rezim)
hukum laut, yaitu perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut
teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif (ZEE), landas kontinen, laut
lepas, dan selat yang digunakan untuk pelayaran internasional. Wilayah laut
pedalaman adalah wilayah laut di sisi daratan dari garis pangkal. Garis pangkal
ini ialah garis yang digunakan sebagai pangkal pengukuran lebar wilayah laut
teritorial (Sefriani, 2011; Istanto, 2010).
Pada Pasal 46 dalam konvensi PBB
tentang hukum laut, menyatakan bahwa istilah ‘kepulauan’ berarti suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau,
perairan diantara pulau-pulau tersebut, dan wujud-wujud alamiah lainnya yang
satu sama lain bereratan sehingga membentuk satu kesatuan geografis, ekonomi,
dan politik yang hakiki. Negara kepulauan didefinisikan untuk memberi arti,
‘suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan yang dapat
mencakup pulau-pulau lain’.
Metode garis
pangkal lurus dipakai sebagai solusi untuk masalah perairan
kepulauan (Starke, 2014: 353). Ketentuan mengenai laut teritorial dan zona
tambahan diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 33. Dalam ketentuan ini, batas laut teritorial tidak
melebihi batas 12 mil laut diukur dari garis pangkal sepanjang pantai negara
tersebut.
Akan tetapi,
keadaulatan negara pantai dibatasi oleh hukum internasional dengan ditetapkannya
Hak Lintas Damai yakni hak bagi kapal asing di wilayah tersebut dan
kewajiban negara pantai untuk memberitahu kepada kapal asing yang lewat tentang
bahaya navigasi yang diketahui (Istanto, 2010: 54).
Mengenai zona
tambahan, menentukan bahwa negara pantai dalam zona tersebut
bisa melaksanakan pengawasan yang diperlukan guna mencegah pelanggaran
undang-undang menyangkut bea cukai, fiskal, imigrasi, dan saniter dalam
wilayahnya, namun tidak boleh lebih dari 24 mil (Manuputy et al., 2008: 94).
Zona ekonomi eksklusif (ZEE) adalah suatu zona selebar tidak lebih dari 200 mil
laut dari garis pangkal. Dalam zona ini negara pantai memilliki hak-hak
berdaulat yang eksklusif untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan
alam serta yurisdiksi tertentu terhadap pertama, pembuatan dan
pemakaian pulau buatan, instalasi, dan bangunan; kedua, riset ilmiah
kelautan; dan ketiga, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut
(Sefriani, 2011: 215-216).
Ketentuan tentang
landas kontinen diatur dalam Pasal 76 UNCLOS 1982. Dalam ketentuan ini telah ditentukan bahwa landas
kontinen suatu negara pantai tidak boleh melebihi batas 200 mil laut dari garis
pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur. Landasan kontinen suatu
negara adalah tanah wilayah laut yang menjulur ke luar wilayah laut teritorial
sebagai kelanjutan alami dari wilayah daratan negara tersebut (Istanto, 2010:
55-56).
Berdasarkan
ketentuan UNCLOS Pasal 86 (Starke, 2014: 360), apa yang dianggap sebagai
laut lepas hanya berlaku terhadap semua bagian laut yang tidak termasuk dalam
zona ekonomi eksklusif (ZEE), laut teritorial atau perairan pedalaman
negara-negara atau ke dalam perairan negara-negara kepulauan. Serta pada Pasal 87 menyatakan bahwa,
laut lepas sepenuhnya terbuka bagi semua negara baik yang berpantai maupun
tidak; yaitu kebebasan pelayaran, penerbangan diatasnya, pemasangan kabel-kabel
dan pipa-pipa bawah laut, pembangunan pulau buatan dan instalasi lainnya,
penangkapan ikan, serta riset ilmiah.
Semua kebebasan
tersebut harus dilaksanakan dengan memperhatikan kepentingan negara lain yang
melaksanakan kebebasan-kebebasan yang sama. Penjelasan pokok UNCLOS selanjutnya
yakni mengenai selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, ketentuan
ini diatur dalam Pasal 41. Rezim lalu lintas melalui selat-selat yang
digunakan untuk pelayaran internasional tak mempengaruhi status hukum
perairannya atau pelaksanaan kedaulatan oleh negara yang berbatasan dengan
selat-selat tersebut terhadap perairan, dasar laut, tanah dibawahnya, serta
ruang udara diatasnya (Manuputy, 2008: 94).
Sebagai
negara kepulauan, Indonesia termasuk negara yang paling diuntungkan dengan
keberadaan UNCLOS. Dalam hubungannya dengan yurisdiksi negara atas wilayah
lautnya, Indonesia telah menetapkan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang dijadikan
sebagai patokan rute pelayaran internasional yang akan melintasi laut wilayah
Indonesia.
Konvensi PBB
tentang hukum laut 1982 (UNCLOS) Pasal 53 menyatakan bahwa sebagai negara kepulauan,
Indonesia dapat menentukan alur laut untuk lintas kapal dan pesawat udara asing
yang terus menerus dan langsung serta secepat mungkin melalui atau diatas
perairan kepulauan dan teritorial yang berdampingan dengannya (Manuputy et al.
2008: 95).
Indonesia
memperoleh tambahan wilayah yang signifikan dengan diakuinya hak negara
kepulauan untuk menarik garis dasar lurus kepulauan menghubungkan titik-titik
terluar dari pulau-pulau terluar. Perairan yang semula laut bebas menjadi
perairan kepulauan. Perairan laut Indonesia bertambah sekitar 2.7 juta km2, dan sebagai konsekuensi
diperolehnya perairan kepulauan ini negara kepulauan harus menetapkan dan
mengumumkan alur laut kepulauannya bagi kapal asing. Indonesia melalui Pasal 2 PP Nomor 37
Tahun 2002 telah menetapkan bahwa kapal dan pesawat udara asing
dapat melaksanakan Hak Lintas melalui Alur laut Kepulauan (ALK) untuk pelayaran
atau penerbangan dari satu bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif ke
bagain lain laut bebas atau zona ekonomi eksklusif melintasi laut teritorial
dan perairan kepulauan Indonesia (Sefriani, 2011: 217).
Alur Laut Kepulauan
Indonesia yang telah ditetapkan melalui PP No. 37 tersebut, terdiri dari tiga alur yaitu ALKI I,
ALKI II, dan ALKI III. ALKI I yaitu alur kepulauan yang dapat dipergunakann
untuk melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan untuk pelayaran dari Laut
Cina Selatan ke Samudera Hindia atau sebaliknya, melintasi Laut Natuna, Selat
Karimata, Laut Jawa, dan Selat Sunda. ALKI II, yaitu alur laut kepulauan yang
dipergunakan untuk melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan untuk pelayaran
dari Laut Sulawesi ke Samudera Hindia atau sebaliknya, melintasi Selat
makassar, Laut Flores, dan Selat Lombok.
ALKI III tidak
seperti ALKI sebelumnya, ALKI ini terbagi menjadi ALKI A-ALKI E. ALKI A adalah
alur laut kepulauan yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan Hak Lintas Alur
Laut Kepulauan untuk pelayaran dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia atau
sebaliknya, melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Bandam Selat Ombai, dan
Laut Sawu. ALKI B adalah rute untuk pelayaran dari Samudera Pasifik melintasi
Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, dan Selat Leti ke Laut Timor atau
sebaliknya. ALKI C menyatakan rute untuk pelayaran dari samudera Pasifik
melintasi Laut Maluku, Laut Seram, dan laut Banda ke Laut Arafura atau
sebaliknya. ALKI D merupakan rute untuk pelayaran dari Samudera Pasifik
melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, dan Laut Sawu
sebelah Timur Pulau Sawu ke Samudera Hindia atau sebaliknya.
Terakhir ALKI E
menjelaskan rute untuk pelayaran dari Sulawesi melintasi Laut Maluku, Laut
Seram, Laut Banda, Selat Ombai, dan Laut Sawu sebelah Barat Pulau Sawu atau
Laut Sawu sebelah Timur Pulau Sawu ke Samudera Hindia atau sebaliknya
(Manuputy, 2008: 96-97; Sefriani, 2011: 218).
Dari paparan
diatas, hukum laut internasional memang telah mengalami perkembangan yang
sangat revolusioner yang ditandai dengan banyaknya konferensi dalam mengatur
ketentuan laut internasional. Penandatanganan akhir pada tanggal 10 Desember 1982 di Montego
Bay-Jamaika dalam konferensi PBB ketiga tentang hukum laut 1973-1982 (UNCLOS) berhasil
menyusun suatu ketentuan hukum internasional yang komprehensif berkaitan dengan
hukum laut di bawah judul Konvensi PBB mengenai Hukum Laut.
Menurut Starke
(2014: 322), UNCLOS 1982 merupakan perkembangan paling penting dalam
keseluruhan sejarah ketentuan hukum internasional berkenaan dengan lautan
bebas. Indonesia adalah negara kepulauan dengan kekayaan sumber daya kelautan
yang besar. Negara Kesatuan Republik Indonesia juga merupakan negara kepulauan
terbesar di dunia dengan memiliki kurang lebih 17 ribu pulau dengan luas lautnya mencapai 5.8 juta
km2 dan garis pantai sepanjang 95.181 km2.
Sebagaimana diatur
dalam UNCLOS 1982, Indonesia sebagai negara kepulauan merupakan satu kesatuan
wilayah yurisdiksi yang berdaulat serta mempunyai hak dan wewenang penuh yang
diakui dunia internasional, untuk mengatur, mengelola dan memanfaatkan kekayaan
laut yang dimilikinya bagi kepentingan seluruh rakyat Indonesia. Kehidupan di
negara kepulauan memilliki karakteristik maritim, yaitu perkehidupan yang
memanfaatkan laut sebagai sumber hidupnya. Sumber daya laut dari sudut ekonomi
mempunyai keunggulan komparatif, sedangkan posisinya dapat menjadi keunggulan
positif. Secara geografis posisi Indonesia sagat penting artinya bagi lalu lintas
pelayaran internasional (Pujayanti, t.t: 3-4).
REFERENSI
Istanto, Sugeng.
2010. Hukum Internasional. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Manuputy, et al.,
2008. Hukum Internasional. Depok: Rech-ta
Pujayanti, Adirini.
t.t. Budaya Meritim, Geo-Politik dan Tantangan Keamanan Indonesia, [online]
dalam http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-3.pdf [diakses
12 Oktober 2014]
Sefriani.
2011. Hukum Internasional Suatu Pengantar. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada
Starke, J.G.
2014. Pengantar Hukum Internasional (terj.
Bambang Iriana Djajaatmadja,Intrroduction to International Law). Jakarta: Sinar
Grafika
Penulis
: Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.