HUKUM LAUT
INTERNASIONAL DAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN
13 October 2014 - dalam HUKUM INTERNASIONAL Oleh devi-anggraini-fisip12
Tidak ada cabang
hukum internasional yang lebih banyak mengalami perubahan secara revolusioner
selain perkembangan hukum laut dan jalur-jalur maritim. Pada awalnya, pelayaran
di laut bebas terbuka bagi setiap orang demikian pula dengan
penangkapan-penangkapan ikan, akan tetapi pada abad keenam belas periode-periode
dimana terjadi penemuan maritim akbar oleh para pelaut Eropa dan klaim-klaim
yang dikemukakan oleh negara maritim dengan tujuan untuk melaksanakan
kedaulatan, yang mana hal ini tidak dapat dibedakan dari pemilikan atas
bagian-bagian tertentu dari laut bebas.
Seorang Grotius merasa sangat keberatan
dengan adanya klaim-klaim kedaulatan tersebut dengan berlandaskan dua faktor;
pertama, tidak ada lautan yang dapat menjadi milik suatu bangsa atau negara
karena tidak mungkin bagi suatu negara untuk secara efektif mengambilnya
sebagai hal milik dengan cara okupasi. Faktor kedua, alam tidak memberikan hak
kepada siapapun untuk memiliki sarana yang dapat dimanfaatkan oleh setiap orang
serta sifatnya tidak dapat habis, atau dengan kata lain laut lepas adalah hak semua
bangsa (Starke, 2014: 322).
Berdasarkan sejarah
awal adanya klaim-klaim negara terhadap laut lepas, maka perarturan yang
membahas mengenai wilayah laut semakin masif setelahnya. Konferensi hukum laut
PBB yang pertama diselenggarakan di Jenewa tanggal 24 Februari 1958 sampai
dengan 27 April 1958, dan tugas yang berhasil diselesaikan dimuat dalam empat
buah konvensi yaitu, konvensi tentang laut teritorial dan jalur tambahan,
konvensi tentang laut lepas, konvensi tentang perikanan dan konservasi sumber-sumber
daya hayati di laut lepas, serta konvensi mengenai landasan kontinen.
Sesudah
berakhirnya konferensi 1958, Majelis Umum melalui resolusi yang dikeluarkan
tanggal 10 Desember 1958 meminta Sekretaris Jenderal PBB untuk menyelenggarakan
konferensi PBB mengenai hukum laut yang kedua untuk membahas lebih lanjut
mengenai dua masalah yang belum selesai yaitu, lebar laut teritorial dan batas
wilayah penangkapan ikan. Lebih dari 80 negara diwakili pada konferensi PBB
yang kedua ini, yang diselenggarakan di Jenewa pada tanggal 16 Maret 1960
sampai dengan 26 April 1960, dengan hasil yang tidak begitu meyakinkan
menyangkut kedua masalah tersebut (Strake, 2014: 332-333).
Hasil akhir dari
berbagai perkembangan yang timbul dikemudian hari adalah dengan dikeluarkannya
dua resolusi penting oleh Majelis Umum pada tanggal 17 Desember 1970, yakni
Deklarasi Prinsip-Prinsip yang mengatur Dasar Laut dan Dasar Samudera
serta Tanah dibawahnya diluar Batas Yurisdiksi Nasional (Declaration of
Principles Governing the Seabed and Subsoil Thereof beyond the Limits of
National Jurisdiction) dan keputusan untuk menyelenggarakan konferensi PBB
ketiga mengenai Hukum Laut pada tahun 1973 yakni UNCLOS (United Nations
Conference on the Law of the Sea). Konferensi PBB ketiga mengenai hukum laut sangat
luas, meliputi pembentukan rezim internasional untuk mengatur kawasan, definisi
yang tepat dari kawasan, dan “suatu ruang lingkup yang luas mengenai
masalah-masalah yang berkaitan rezim hukum laut lepas, landas kontinen, laut
teritorial dan jalur tambahan, perikanan dan konservasi sumber-sumber daya alam
hayati di laut lepas, pelestarian lingkungan laut dan penelitian ilmiah”
(Starke, 2014: 341-342).
Konvensi PBB
tentang hukum laut (UNCLOS 1982) melahirkan beberapa pokok pengaturan (rezim)
hukum laut, yaitu perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona
tambahan, zona ekonomi eksklusif (ZEE), landas kontinen, laut lepas, dan selat
yang digunakan untuk pelayaran internasional.
Wilayah laut pedalaman adalah
wilayah laut di sisi daratan dari garis pangkal. Garis pangkal ini ialah garis
yang digunakan sebagai pangkal pengukuran lebar wilayah laut teritorial
(Sefriani, 2011; Istanto, 2010). Pada Pasal 46 dalam konvensi PBB tentang hukum
laut, menyatakan bahwa istilah ‘kepulauan’ berarti suatu gugusan pulau,
termasuk bagian pulau, perairan diantara pulau-pulau tersebut, dan wujud-wujud
alamiah lainnya yang satu sama lain bereratan sehingga membentuk satu kesatuan
geografis, ekonomi, dan politik yang hakiki.
Negara kepulauan didefinisikan untuk
memberi arti, ‘suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih
kepulauan yang dapat mencakup pulau-pulau lain’. Metode garis pangkal lurus
dipakai sebagai solusi untuk masalah perairan kepulauan (Starke, 2014: 353).
Ketentuan mengenai laut teritorial dan zona tambahan diatur dalam Pasal 3 dan
Pasal 33. Dalam ketentuan ini, batas laut teritorial tidak melebihi batas 12
mil laut diukur dari garis pangkal sepanjang pantai negara tersebut.
Akan
tetapi, keadaulatan negara pantai dibatasi oleh hukum internasional dengan
ditetapkannya Hak Lintas Damai yakni hak bagi kapal asing di wilayah tersebut
dan kewajiban negara pantai untuk memberitahu kepada kapal asing yang lewat
tentang bahaya navigasi yang diketahui (Istanto, 2010: 54). Mengenai zona tambahan,
menentukan bahwa negara pantai dalam zona tersebut bisa melaksanakan pengawasan
yang diperlukan guna mencegah pelanggaran undang-undang menyangkut bea cukai,
fiskal, imigrasi, dan saniter dalam wilayahnya, namun tidak boleh lebih dari 24
mil (Manuputy et al., 2008: 94).
Zona ekonomi eksklusif (ZEE) adalah suatu zona
selebar tidak lebih dari 200 mil laut dari garis pangkal. Dalam zona ini negara
pantai memilliki hak-hak berdaulat yang eksklusif untuk keperluan eksplorasi
dan eksploitasi kekayaan alam serta yurisdiksi tertentu terhadap
pertama, pembuatan dan
pemakaian pulau buatan, instalasi, dan bangunan;
kedua, riset ilmiah
kelautan; dan
ketiga, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut
(Sefriani, 2011: 215-216).
Ketentuan tentang
landas kontinen diatur dalam Pasal 76 UNCLOS 1982. Dalam ketentuan ini telah
ditentukan bahwa landas kontinen suatu negara pantai tidak boleh melebihi batas
200 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur.
Landasan kontinen suatu negara adalah tanah wilayah laut yang menjulur ke
luar wilayah laut teritorial sebagai kelanjutan alami dari wilayah daratan
negara tersebut (Istanto, 2010: 55-56).
Berdasarkan ketentuan UNCLOS Pasal 86
(Starke, 2014: 360), apa yang dianggap sebagai laut lepas hanya berlaku terhadap
semua bagian laut yang tidak termasuk dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE), laut
teritorial atau perairan pedalaman negara-negara atau ke dalam perairan
negara-negara kepulauan. Serta pada Pasal 87 menyatakan bahwa, laut lepas
sepenuhnya terbuka bagi semua negara baik yang berpantai maupun tidak; yaitu
kebebasan pelayaran, penerbangan diatasnya, pemasangan kabel-kabel dan
pipa-pipa bawah laut, pembangunan pulau buatan dan instalasi lainnya,
penangkapan ikan, serta riset ilmiah.
Semua kebebasan tersebut harus
dilaksanakan dengan memperhatikan kepentingan negara lain yang melaksanakan
kebebasan-kebebasan yang sama. Penjelasan pokok UNCLOS selanjutnya yakni
mengenai selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, ketentuan ini
diatur dalam Pasal 41. Rezim lalu lintas melalui selat-selat yang digunakan
untuk pelayaran internasional tak mempengaruhi status hukum perairannya atau
pelaksanaan kedaulatan oleh negara yang berbatasan dengan selat-selat tersebut
terhadap perairan, dasar laut, tanah dibawahnya, serta ruang udara diatasnya
(Manuputy, 2008: 94).
Sebagai
negara kepulauan, Indonesia termasuk negara yang paling diuntungkan dengan
keberadaan UNCLOS. Dalam hubungannya dengan yurisdiksi negara atas wilayah
lautnya, Indonesia telah menetapkan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang
dijadikan sebagai patokan rute pelayaran internasional yang akan melintasi laut
wilayah Indonesia. Konvensi PBB tentang hukum laut 1982 (UNCLOS) Pasal 53
menyatakan bahwa sebagai negara kepulauan, Indonesia dapat menentukan alur laut
untuk lintas kapal dan pesawat udara asing yang terus menerus dan langsung
serta secepat mungkin melalui atau diatas perairan kepulauan dan teritorial
yang berdampingan dengannya (Manuputy et al. 2008: 95).
Indonesia memperoleh
tambahan wilayah yang signifikan dengan diakuinya hak negara kepulauan untuk
menarik garis dasar lurus kepulauan menghubungkan titik-titik terluar dari
pulau-pulau terluar. Perairan yang semula laut bebas menjadi perairan
kepulauan. Perairan laut Indonesia bertambah sekitar 2.7 juta km2, dan sebagai
konsekuensi diperolehnya perairan kepulauan ini negara kepulauan harus
menetapkan dan mengumumkan alur laut kepulauannya bagi kapal asing. Indonesia
melalui Pasal 2 PP Nomor 37 Tahun 2002 telah menetapkan bahwa kapal dan pesawat
udara asing dapat melaksanakan Hak Lintas melalui Alur laut Kepulauan (ALK)
untuk pelayaran atau penerbangan dari satu bagian laut lepas atau zona ekonomi
eksklusif ke bagain lain laut bebas atau zona ekonomi eksklusif melintasi laut
teritorial dan perairan kepulauan Indonesia (Sefriani, 2011: 217).
Alur Laut Kepulauan
Indonesia yang telah ditetapkan melalui PP No. 37 tersebut, terdiri dari tiga
alur yaitu ALKI I, ALKI II, dan ALKI III. ALKI I yaitu alur kepulauan yang
dapat dipergunakann untuk melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan untuk
pelayaran dari Laut Cina Selatan ke Samudera Hindia atau sebaliknya, melintasi
Laut Natuna, Selat Karimata, Laut Jawa, dan Selat Sunda. ALKI II, yaitu alur
laut kepulauan yang dipergunakan untuk melaksanakan Hak Lintas Alur Laut
Kepulauan untuk pelayaran dari Laut Sulawesi ke Samudera Hindia atau
sebaliknya, melintasi Selat makassar, Laut Flores, dan Selat Lombok. ALKI III
tidak seperti ALKI sebelumnya, ALKI ini terbagi menjadi ALKI A-ALKI E. ALKI A
adalah alur laut kepulauan yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan Hak
Lintas Alur Laut Kepulauan untuk pelayaran dari Samudera Pasifik ke Samudera
Hindia atau sebaliknya, melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Bandam Selat
Ombai, dan Laut Sawu. ALKI B adalah rute untuk pelayaran dari Samudera Pasifik
melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, dan Selat Leti ke Laut Timor
atau sebaliknya. ALKI C menyatakan rute untuk pelayaran dari samudera Pasifik
melintasi Laut Maluku, Laut Seram, dan laut Banda ke Laut Arafura atau sebaliknya.
ALKI D merupakan rute untuk pelayaran dari Samudera Pasifik melintasi Laut
Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat Ombai, dan Laut Sawu sebelah Timur Pulau
Sawu ke Samudera Hindia atau sebaliknya.
Terakhir ALKI E menjelaskan rute untuk
pelayaran dari Sulawesi melintasi Laut Maluku, Laut Seram, Laut Banda, Selat
Ombai, dan Laut Sawu sebelah Barat Pulau Sawu atau Laut Sawu sebelah Timur
Pulau Sawu ke Samudera Hindia atau sebaliknya (Manuputy, 2008: 96-97; Sefriani,
2011: 218).
Dari paparan
diatas, hukum laut internasional memang telah mengalami
perkembangan yang
sangat revolusioner yang ditandai dengan banyaknya
konferensi dalam mengatur
ketentuan laut internasional. Penandatanganan akhir pada tanggal 10 Desember
1982 di Montego Bay-Jamaika dalam konferensi PBB ketiga tentang hukum laut
1973-1982 (UNCLOS) berhasil menyusun suatu ketentuan hukum internasional yang
komprehensif berkaitan dengan hukum laut di bawah judul Konvensi PBB mengenai
Hukum Laut.
Menurut Starke (2014: 322), UNCLOS 1982 merupakan perkembangan
paling penting dalam keseluruhan sejarah ketentuan hukum internasional
berkenaan dengan lautan bebas. Indonesia adalah negara kepulauan dengan
kekayaan sumber daya kelautan yang besar. Negara Kesatuan Republik Indonesia
juga merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan memiliki kurang lebih
17 ribu pulau dengan luas lautnya mencapai 5.8 juta km2 dan garis pantai
sepanjang 95.181 km2. Sebagaimana diatur dalam UNCLOS 1982, Indonesia sebagai
negara kepulauan merupakan satu kesatuan wilayah yurisdiksi yang berdaulat
serta mempunyai hak dan wewenang penuh yang diakui dunia internasional, untuk
mengatur, mengelola dan memanfaatkan kekayaan laut yang dimilikinya bagi
kepentingan seluruh rakyat Indonesia.
Kehidupan di negara kepulauan memilliki karakteristik
maritim, yaitu perkehidupan yang memanfaatkan laut sebagai sumber hidupnya.
Sumber daya laut dari sudut ekonomi mempunyai keunggulan komparatif, sedangkan
posisinya dapat menjadi keunggulan positif. Secara geografis posisi Indonesia
sagat penting artinya bagi lalu lintas pelayaran internasional (Pujayanti, t.t:
3-4).
REFERENSI
Istanto, Sugeng.
2010. Hukum Internasional. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Manuputy, et al.,
2008. Hukum Internasional. Depok: Rech-ta
Pujayanti, Adirini.
t.t. Budaya Meritim, Geo-Politik dan Tantangan Keamanan Indonesia, [online]
dalam http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/buku_lintas_tim/buku-lintas-tim-3.pdf [diakses
12 Oktober 2014]
Sefriani.
2011. Hukum Internasional Suatu Pengantar. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada
Starke, J.G.
2014. Pengantar Hukum Internasional (terj.
Bambang Iriana
Djajaatmadja,Intrroduction to
International Law). Jakarta: Sinar Grafika
Penulis : Drs.Simon
Arnold Julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.