Pengaturan ruang
udara dan antariksa merupakan aturan yang relatif baru dibandingkan pengaturan
internasional lainnya seperti hukum laut yang sudah ada sejak berabad-abad
sebelumnya. Sehingga hukum udara dan antariksa didasarkan pada ketentuan
Konvensional dan hukum kebiasaan yang mempunyai peran tambahan dalam
pembentukan hukum udara dan antariksa.
Perkembangan hukum udara diawali pada
Konferensi Internasional Hukum Udara yang pertama diselenggarakan pada tahun
1910 setelah sejumlah balon udara milik Jerman melintasi wilayah udara di atas
negara Perancis, yang mana hal ini dianggap oleh pihak Perancis sebagai suatu
ancaman terhadap keamanannya.
Sembilan tahun setelah Konferensi pertama
tersebut dibentuklah Konvensi Paris 1919 yang berlandaskan adagium Romawi (cujus est solum, ejus
usque ad coelum at ad inferos) yang berarti bahwa negara melaksanakan hak-haknya
sampai pada suatu ketinggian dimana ia masih memiliki kontrol efektif terhadap
ruang udaranya.
Tujuan utama perjanjian itu adalah untuk menegakkan kedaulatan
negara terhadap ruang udara di atas wilayahnya dan untuk membentuk
ketentuan-ketentuan bagi pengguna ruang udara. Hukum udara itu sendiri dapat
dipahami sebagai serangkaian ketentua nasional dan internasional mengenai pesawat,
navigasi udara, pengangkutan udara komersial dan semua hubungan hukum, publik
ataupun perdata, yang timbul dari navigasi udara domestik dan internasional
(Syahmin et al., 2012: 4-5).
Konvensi paris 1919
ditandatangani pada tanggal 13 Oktober 1919 dan baru berlaku pada tanggal 11
Juli 1922. Dapat dikatakan bahwa konvensi Paris 1919 tersebut merupakan upaya
pertama pengaturan internasional secara umum mengenai penerbangan udara.
Pengaturan Hukum Udara dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919 menjelaskan mengenai
kedaulatan penuh dan eksklusif negara peserta terhadap ruang angkasa di atas
wilayah darat dan lautnya.
Kendati demikian pada perkembangannya, konvensi
tersebut mengalami beberapa perubahan materi terutama mengenai keanggotaan
dalam konvensi yang mana menjelaskan bahwa setiap negara memiliki kedaulatan
penuh terhadap ruang udara yang berada di atasnya (T. May, 2002: 31).
Pelaksanaan masalah kebebasan navigasi udara Konvensi Paris dirasa hanya
sebagai konvensi yang diberikan atas dasar resiprositas semata kepada para
pihak, bukan penilaian objektif. Oleh sebab itu, perkembangan pesat dalam lalu
lintas udara juga membuat Konvensi Paris harus direvisi kembali. Amerika
Serikat berinisiatif untuk merevisi Konvensi Paris yang dilaksanakan pada 1
November-7 Desember 1944 di Chicago, yang mengatur tentang dua kebebasan dasar
yaitu hak lintas damai dan hak mendarat teknik untuk keperluan pengambilan
bahan-bahan dan reparasi dan tiga kebebasan komersial yang berkaitan dengan
lalu lintas komersial (Mauna, 2011: 427-428).
Perkembangan yang
hampir serupa telah terjadi dalam bidang Hukum Antariksa (Outer Space Law). Diawali pada 4
Oktober 1957 ketika Sputnik Rusia diluncurkan ke ruang angakasa yang kemudian
diikuti oleh pesawat ruang angkasa Amerika Serikat, yang mengakibatkan negara
lain menganggap hal tersebut sebagai suatu ancaman terhadap keamanan mereka.
Prinsip-prinsip yang berlaku untuk ruang angkasa terjabarkan dalam Space Treaty 1967, dengan prinsip
utama yang mengatur ruang angkasa antara lain Non appropriation
principle dan Freedom exploitation principle.
Prinsip pertama
atau non kepemilikan adalah prinsip yang menyatakan bahwa ruang angkasa beserta
benda-benda langit merupakan milik bersama umat manusia, tidak dapat diklaim
atau diletakkan di bawah kedaulatan suatu negara.
Adapun prinsip kedua adalah
prinsip yang menyatakan bahwa ruang angkasa adalah zona yang bebas untuk
dieksploitasi oleh semua negara sepanjang untuk tujuan damai (equity) (Sefriani, 2011:
228-229).
Tujuan utama dari perjanjian ini adalah untuk mencegah
tuntutan-tuntutan kedaulatan di ruang angkasa oleh negara-negara secara
individu dan untuk membuat ketentuan-ketentuan bagi penggunaan damai ruang
angkasa. Sejalan dengan meningkat pesatnya lalu lintas pengangkutan ruang
angkasa, muncul pula kebutuhan akan prinsip dan pengaturan hukum yang lebih
tegas.
Sejumlah studi dan perjanjian mengenai registrasi, pertolongan para
astronaut, dan tanggung jawab bagi kerugian yang telah diatur dalam Space Treaty 1967, telah
dikodifikasi dalam perarturan-perarturan hukum internasional publik dan perdata
yang mengikat (Syahmin, 2012: 6).
Beberapa pakar hukum internasional memberikan
definisi yang berbeda tentang antariksa, antara lain Priyatna Abdurrasyid yang
mengatakan hukum antariksa adalah hukum yang mengatur ruang angkasa dengan
segala isinya atau hukum yang mengatur ruang yang hampa udara.
Ruang lingkupnya
meliputi tiga hal, yaitu luas wilayah ruang di antariksa dimana hukum antariksa
ditetapkan dan berlaku, bentuk kegiatan manusia yang diatur di ruang tersebut,
dan bentuk kegiatan peralatan penerbangan dan alat-alat penunjungnya
(Abdurrasyid, 2007: 183).
Paul Fauchile
berusaha menerapkan doktrin Grotius ke dalam masalah kedaulatan suatu negara di
ruang udara dengan mengatakan bahwa udara itu bebas. Akan tetapi tindakan
menyamakan lautan dengan ruang udara tidaklah benar. Hal tersebut diasumsikan
bahwa udara dengan lautan itu dua hal yang berbeda.
Mengenai masalah pemilikan
ruang udara ini melahirkan dua kelompok besar, yaitu mereka yang berpendapat
bahwa udara sifatnya itu bebas yang dikelompokkan sebagai penganut teori ruang
udara bebas dan mereka yang berpendapat bahwa negara itu berdaulat terhadap
ruang udara di atas wilayah negaranya.
Berkaitan dengan ruang udara di atas
wilayah yang dikuasai dan di atas perairan yang tunduk pada kedaulatan negara,
seperti yang telah dikemukakan di atas, terdapat sejumlah teori yang beragam.
Akan tetapi ketika pecahnya Perang Dunia I pada tahun 1914, karena alasan
darurat dan praktis dianggap bahwa satu-satunya teori yang diterima oleh semua
negara adalah teori kedaulatan negara atas ruang udara adalah tidak terbatas
(Abdulrrasyid, 1972: 55).
Teori ini dipakai dan dikukuhkan tidak hanya oleh
negara yang sedang berperang, akan tetapi juga oleh negara-negara netral. Teori
tersebut dinyatakan dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919, untuk pengaturan
navigasi udara, dimana peserta perjanjian mengakui bahwa setiap negara memiliki
kedaulatan yang lengkap dan eksklusif atas ruang udara di atas wilayahnya dan
perairan terirtorialnya. Tetapi bagaimanapun juga konsep kedaulatan tersebut
masih bisa dibatasi dengan adanta hak lintas damai bagi pesawat-pesawat asing.
Hukum Udara
Indonesia ditandai dengan keberpihakan Indonesia pada Konvensi Chicago sejak
tahun 1950. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, Konvensi ini sangat menjunjung
tinggi kedaula.tan negara atas wilayah ruang udaranya. Akan tetapi menyadari
resiko yang besar dari transportasi udara dan untuk kepentingan masyarakat
internasional, dalam beberapa hal konvensi membatasi kebebasan negara dalam
mengatur lalu lintas transportasi udara.
Negara harus patuh pada jalur-jalur
penerbangan yang diatur dalam enroute charts ICAO serta
siapa yang diberi kewenangan untuk mengawasi dan mengatur lalu lintas
penerbangan di suatu kawasan melalui penetapan flight information
region (FIR). Penetapan FIR oleh ICAO berdasarkan
pertimbangan beberapa faktor antara lain ketersediaan berbagai fasilitas
pendukung transportasi udara di masing-masing wilayah.
Oleh karena itu,
pengaturan lalu lintas udara tidaklah sangat berpatokan pada wilayah kedaulatan
suatu negara semata. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa tidak semua wilayah
kedaulatan RI, FIR-nya diatur oleh Jakarta. Sebagian lainnya seperti sekitar
Kepulauan Riau, FIR-nya diatur oleh Singapura yang mana penerbangan dari
Batam ke Matak harus memutar lewat Toman terlebih dahulu karena adanya wilayah
larangan yang sebagian besar ditetapkan oleh Malaysia walaupun wilayah tersebut
bagian dari Indonesia. Wilayah-wilayah tersebut sejak lama masuk dalam FIR Singapura
sehingga memang Singapura yang harus memperingatkan jika ada pesawat yang
keluar dari jalur penerbangan yang sudah dibuat dan disepakati secara
internasional.
Sebaliknya Indonesia memegang FIR untuk Pulau Christmas milik
Australia, wilayah Papua Nugini dan Timor Leste. Artinya pesawat Australia yang
akan terbang dari Sydney ke Pulau Christmas harus melapor ke Indonesia lebih
dahulu (Sefriani, 2011: 226-227).
Setiap cabang hukum
internasional memiliki ketentuan-ketentuan dan prinsipnya sendiri, juga tidak
terkecuali hukum udara dan ruang angkasa. Kedua cabang hukum itu masing-masing
merupakan suatu sistem hukum yang independen. Perkembangan hukum udara
internasional maupun hukum antariksa diawali dengan potret sejarah hubungan
antar negara yang melahirkan inisiatif negara untuk membentuk hukum udara dan
antariksa demi menjaga stabilitas keamanan terirtori setempat.
Konsep
kedaulatan negara di ruang udara sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1
konvensi Paris 1919, telah secara rinci dicantumkan pula pada Pasal 1 Konvensi
Chicago 1944 bahwa negara mempunyai kedaulatan yang peuh dan eksklusif atas
ruang udaranya. Selain itu, pengaturan tentang ruang antariksa diatur dalam
perjanjian Outer Space 1967, perjanjian tersebut mengadopsi prinsip
non-kepemilikan dan prinsip kebebasan atas penggunaan ruang angkasa.
REFERENSI
Abdurrasyid,
Priyatna. 2007. Hukum Ruang Angkasa Nasional, Penempatan dan
Urgensinya. Jakarta: Rajawali Press
Abdulrrasyid,
Priyatna. 1972. Kedaulatan Negara di Ruang Udara. Jakarta: Pusat
Penelitian Hukum Angkasa
Mauna, Boer.
2011. Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi
dalam Era Dinamika Global. Bandung: Alumni
Sefriani.
2011. Hukum Internasional Suatu Pengantar. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada
Syahmin, et al.,
2012. Hukum Udara dan Luar Angkasa,
[online]file:///D:/UNAIR/SEMESTER%205/Hukum%20Internasional/Buku_Hukum_Udara_dan_Luar_Angkasa.pdf[diakses
2 November 2014]
T. May Rudy. Hukum Internasional
II. Bandung: Refika Aditama
Penulis : Drs.Simon
Arnold Julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.