alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Selasa, 03 Maret 2015

HUKUM PIDANA INTERNASIONAL: ELEMEN PENTING DAN BENTUK PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL

05 October 2014 - dalam HUKUM INTERNASIONAL Oleh devi-anggraini-fisip12

Hukum internasional hadir sebagai respon dari perkembangan interdependensi negara-negara dan peningkatan pesat hubungan-hubungan antar negara karena berbagai macam penemuan yang ditujukan guna menanggulangi kesulitan menyangkut waktu, ruang, dan komunikasi intelektual. Bertolak dari perkembangan dunia, terdapat perbuatan-perbuatan dilarang yang ketentuan berlakunya tidak dipertahankan oleh kedaulatan negara saja, tetapi juga dipertahankan oleh masyarakat internasional. 
Perbuatan-perbuatan tersebut kemudian dikualifikasi sebagai kejahatan internasional yakni substansi pokok dari hukum pidana internasional. Pada awalnya, kejahatan internasional berasal dari kebiasaan yang terjadi dalam praktek hukum internasional, seperti kejahatan perang dan bajak laut yang merupakan kejahatan internasional tertua di dunia. Oleh sebab itu, hukum pidana disini hadir untuk merespon segala bentuk kejahatan internasional dimana seiring dengan berkembangnya dunia, kejahatan turut pula berkembang.
International criminal law constitutes the fusion of two legal diciplines: international law and domestic criminal law (Bantekas & Susan, 2007 dalam Hiariej, 2009: 1). Kutipan tersebut menggambarkan secara umum mengenai hukum pidana internasional, yang diartikan bahwa hukum pidana internasional merupakan perpaduan antara dua disiplin hukum yaitu hukum internasional dan hukum pidana nasional. 
Definisi hukum pidana internasional sangat beragam salah satunya Parthiana (2006) dalam Suarda (2012: 28) mengatakan, dalam pengertian secara ringkas hukum pidana internasional adalah sekumpulan kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur tentang kejahatan internasional; serta dalam pengertian secara lengkap hukum pidana internasional adalah sekumpulan kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur tentang kejahatan internasional yang dilakukan oleh subjek-subjek hukumnya untuk mencapai suatu tujuan tertentu. 
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, hukum pidana internasional merupakan perpaduan antara hukum internasional dan hukum pidana nasional. Oleh sebab itu, hubungan antara hukum pidana internasional dan hukum pidana nasional bersifat komplementer dan memiliki arti penting dalam rangka penegakan hukum pidana (Hiariej, 2009: 18).
Dalam hukum pidana internasional itu sendiri setidaknya terdapat dua aspek yang terkandung, yaitu hukum pidana internasional materiil dan hukum pidana internasional formil (Suarda, 2012: 31). Hukum pidana internasional materiil merupakan aspek yang menjelaskan perbuatan-perbuatan menurut hukum internasional baik berdasarkan hukum kebiasaan internasional maupun konvensi internasional adalah kejahatan internasional. 
Dengan kata lain aspek pertama ini mengandung ketentuan tentang perbuatan yang tidak boleh dilakukan, dilarang, yang disertai ancaman pidana bagi barang siapa yang melakukan. Sedangkan aspek kedua yaitu hukum pidana internasional formil ialah mekanisme yang telah ditetapkan dalam menegakkan hukum pidana internasional materiil.
Suatu kejahatan akan dikenakan tindak pidana internasional apabila memiliki kriteria kejahatan yang termasuk dalam ruang lingkup hukum pidana internasional. Tindakan yang masuk dalam kriteria tindak pidana internasional harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai pelanggaran terhadap kepentingan masyarakat bangsa atau masyarakat internasional (delicto jus gentium) dan memenuhi persyaratan bahwa tindak pidana dimaksud memerlukan penanganan secara internasional terhadap pelaku kejahatan, dimana setiap negara berhak dan berkewajiban untuk menangkap, menahan, dan menuntut, serta mengadili pelaku kejahatan dimana pun kejahatan tersebut dilakukan (Atmasasmita, 2006: 46). 
Hukum pidana internasional juga mengandung beberapa asas hukum yang sedikit berbeda dari asas-asas hukum pada umumnya. Asas hukum pidana internasional biasanya merupakan ketentuan umum dalam KUHP masing-masing negara. Karenanya selain berasal dari asas-asas hukum internasional, asas hukum pidana internasional juga berasal dari asas hukum pidana nasional.
Asas pertama yaitu asas yang bersumber dari hukum internasional. Asas ini kemudian terbagi menjadi dua kategori yakni asas umum dan asas khusus. Terdapat satu asas umum yang telah diakui keberadaannya oleh masyarakat internasional yaitu asas pacta sunt servanda (perjanjian yang dibuat mengikat para pihak). Lantaran kemudian asas-asas umum lainnya seperti, asas itikad baik yang bermakna bahwa semua kebijakan yang diembani oleh hukum internasional harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. 
Asas civitas maxima, ada sistem hukum universal yang dianut oleh semua bangsa dan harus dihormati serta dilaksanakan. Asas timbal balik, jika suatu negara menginginkan adanya perlakuan baik dari negara lain, maka negara yang bersangkutan juga harus memberikan perlakuan baik terhadap negara lain. 
Asas ne bis in idem, asas ini merupakan asas yang pada prinsipnya menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dituntut lebih dari satu kali didepan pengadilan atas perkara yang sama. Hal ini diatur dalam Pasal 20 (1) dan (2) Statuta Roma tahun 1998. Asas umum yang terakhir adalah asas legalitas yang juga diatur dalam Statuta Roma pada tiga pasal yakni 
(1) nullum crimen sine lege, menekankan pada pengaturan tentang perbuatan atau tindak pidana yang menjadi lingkup statuta; 
(2) nulla poena sine lege, pengaturan tentang penjatuhan pidana atau pemidanaan yang harus mengacu pada ketentuan dalam statuta; 
(3) ratione personae nonretroactive, yaitu pertanggungjawaban pidana berdasarkan Statuta Roma tidak bisa berlaku surut (Suarda, 2012: 67-71).
Selain asas umum, dalam hukum pidana internasional juga dikenal adanya asas khusus yang bersumber dari hukum internasional. Ada tiga asas khusus diantaranya (1) asas au dedere au punere, pelaku tindak pidana internasional dapat dipidana oleh negara tempat locus dilecti atau diekstradisi kepada negara peminta yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili pelaku kejahatan. 
Asas (2) au dedere au judicare, yakni setiap negara berkewajiban untuk menuntut dan mengadili pelaku tindak pidana internasional. Asas terakhir adalah asas par in parem in hebet imperium, mengandung makna bahwa kepala negara tidak dapat dihukum dengan menggunakan hukum negara lain. Asas ini merupakan hak imunitas dari seorang kepala negara dalam hubungan internasional (Suarda, 2012: 72).
Selanjutnya adalah asas hukum pidana internasional yang bersumber dari hukum pidana nasional. Asas pertama adalah asas legalitas, perarturan hukum konkret yang pengertiannya dapat dilihat dalam UU hukum pidana masing-masing negara sebagai definsi baku dari asas legalitas itu sendiri. 
Seperti asas legalitas hukum pidana Indonesia yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan, “suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang pidana yang telah ada”. Asas kedua sama seperti asas yang bersumber dari hukum internasional yakni ne bis in idem. Asas ketiga ialah asas teritorial yang diartikan bahwa perundang hukum pidana suatu negara berlaku bagi semua orang yang melakukan tindak pidana di negara tersebut. 
Dalam penegakan hukum pidana internasional, terkadang pelaku kejahatan yang akan diproses, diadili, atau dieksekusi tidak berada di wilayah yang akan melakukan proses pengadilan, tetapi berada di wilayah negara lain. Jika demikian maka ekstradisi tidak dapat dihindari, oleh sebab itu asas ekstradisi merupakan asas hukum terakhir yang bersumber dari hukum pidana nasional (Hiariej, 2009: 27-40).
Kejahatan internasional yang dilakukan oleh subjek-subjek hukum, sudah menjadi kewajiban setiap negara untuk segera mengadili melalui pengadilan internasional. Mekanisme penegakan hukum pidana internasional dibedakan menjadi dua cara yakni penegakan hukum secara langsung dan penegakan hukum secara tidak langusng. 
Penegakan hukum secara langsung adalah penegakan hukum pidana internasional oleh Mahkamah Pidana Internasional. Pelaksanaan peradilan akan dilakukan di Den Haag, dimana objek kejahatan yang diadili meliputi kejahatan perang, genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, serta agresi. 
Penegakan hukum secara tidak langsung merupakan cara kedua untuk mengadili tindak pidana, yakni dengan cara menegakkan norma-norma hukum pidana internasional diikuti pengajuan tuntutan dan peradilan terhadap pelaku tindak pidana internasional melalui pengadilan nasional negara tertentu. Penegakan secara tidak langsung biasanya disebabkan oleh dua hal, yakni karena tempat kejadian (locus dilecti) dan kepentingan negara yang bersangkutan atas tindak pidana yang telah terjadi (Suarda, 2012: 111-123).
Pada tingkat internasional, lembaga penegak hukum pidananya adalah international criminal court(ICC) yang lahir berdasarkan Statuta Roma. ICC merupakan lembaga penegak hukum pidana internasional yang utama sekarang ini dan sudah berlaku efektif sejak tanggal 1 Juli 2002. 
Tidak seperti pada tingkat internasional, lembaga yang berwenang mengadili kejahatan pidana di tingkat nasional lebih mengedepankan mekanisme nasional. Dilihat dari kompetensi absolut, lembaga peradilan nasional Indonesia yang berperan sebagai lembaga penegak hukum pidana internasional adalah peradilan umum.
 Pada umumnya, suatu perkara pidana akan diselesaikan di lembaga peradilan umum. Dalam hal-hal tertentu dapat dibentuk lembaga peradilan khusus, seperti pengadilan khusus tindak pidana korupsi. Namun “rumahnya” tetap-lah sama, yaitu dibawah kewenangan peradilan umum (Suarda, 2012: 95-100).
Bertitik tolak dari pengalaman-pengalaman sebagai akibat peperangan, maka masyarakat internasional melalui PBB telah sepakat menempatkan kejahatan-kejahatan yang dilakukan semasa peperangan sebagai kejahatan yang mengancam dan merugikan serta merusak tatanan kehidupan masyarakat internasional. 
Sebab itulah hukum pidana internasional hadir sebagai hukum yang mengatur aturan-aturan untuk mengadili kejahatan internasional. Hukum pidana internasional dalam skema ilmu hukum terletak pada posisi diantara hukum pidana nasional dan hukum internasional. 
Suardana (2012) mengatakan bahwasannya hukum pidana internasional merupakan bridging science of law yang berfungsi menjelaskan masalah kejahatan internasional dengan hukum pidana nasional dan hukum internasional.
REFERENSI
Atmasasmita, Romli. 2006. Pengantar Hukum Pidana Internasional. Bandung: Refika Aditama
Hiariej, Eddy O.S. 2009. Pengantar Hukum Pidana Internasional. Jakarta: Erlangga
Suarda, I Gede Widhiana. 2012. Hukum Pidana Internasional Sebuah Pengantar. Bandung: PT Citra Aditya Bakti

Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.