Hukum internasional
hadir sebagai respon dari perkembangan interdependensi negara-negara dan
peningkatan pesat hubungan-hubungan antar negara karena berbagai macam penemuan
yang ditujukan guna menanggulangi kesulitan menyangkut waktu, ruang, dan
komunikasi intelektual. Bertolak dari perkembangan dunia, terdapat
perbuatan-perbuatan dilarang yang ketentuan berlakunya tidak dipertahankan oleh
kedaulatan negara saja, tetapi juga dipertahankan oleh masyarakat
internasional.
Perbuatan-perbuatan tersebut kemudian dikualifikasi sebagai
kejahatan internasional yakni substansi pokok dari hukum pidana internasional.
Pada awalnya, kejahatan internasional berasal dari kebiasaan yang terjadi dalam
praktek hukum internasional, seperti kejahatan perang dan bajak laut yang
merupakan kejahatan internasional tertua di dunia. Oleh sebab itu, hukum pidana
disini hadir untuk merespon segala bentuk kejahatan internasional dimana
seiring dengan berkembangnya dunia, kejahatan turut pula berkembang.
International criminal law constitutes the fusion of two legal diciplines:
international law and domestic criminal law (Bantekas & Susan, 2007 dalam Hiariej,
2009: 1). Kutipan tersebut menggambarkan secara umum mengenai hukum pidana
internasional, yang diartikan bahwa hukum pidana internasional merupakan
perpaduan antara dua disiplin hukum yaitu hukum internasional dan hukum pidana
nasional.
Definisi hukum pidana internasional sangat beragam salah satunya
Parthiana (2006) dalam Suarda (2012: 28) mengatakan, dalam pengertian secara
ringkas hukum pidana internasional adalah sekumpulan kaidah dan asas-asas hukum
yang mengatur tentang kejahatan internasional; serta dalam pengertian secara
lengkap hukum pidana internasional adalah sekumpulan kaidah dan asas-asas hukum
yang mengatur tentang kejahatan internasional yang dilakukan oleh subjek-subjek
hukumnya untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Seperti yang sudah disebutkan
sebelumnya, hukum pidana internasional merupakan perpaduan antara hukum
internasional dan hukum pidana nasional. Oleh sebab itu, hubungan antara hukum
pidana internasional dan hukum pidana nasional bersifat komplementer dan
memiliki arti penting dalam rangka penegakan hukum pidana (Hiariej, 2009: 18).
Dalam hukum pidana
internasional itu sendiri setidaknya terdapat dua aspek yang terkandung, yaitu
hukum pidana internasional materiil dan hukum pidana internasional formil
(Suarda, 2012: 31). Hukum pidana internasional materiil merupakan aspek yang
menjelaskan perbuatan-perbuatan menurut hukum internasional baik berdasarkan
hukum kebiasaan internasional maupun konvensi internasional adalah kejahatan
internasional.
Dengan kata lain aspek pertama ini mengandung ketentuan tentang
perbuatan yang tidak boleh dilakukan, dilarang, yang disertai ancaman pidana
bagi barang siapa yang melakukan. Sedangkan aspek kedua yaitu hukum pidana
internasional formil ialah mekanisme yang telah ditetapkan dalam menegakkan
hukum pidana internasional materiil.
Suatu kejahatan
akan dikenakan tindak pidana internasional apabila memiliki kriteria kejahatan
yang termasuk dalam ruang lingkup hukum pidana internasional. Tindakan yang
masuk dalam kriteria tindak pidana internasional harus memenuhi persyaratan-persyaratan
sebagai pelanggaran terhadap kepentingan masyarakat bangsa atau masyarakat
internasional (delicto jus gentium) dan memenuhi persyaratan bahwa tindak pidana
dimaksud memerlukan penanganan secara internasional terhadap pelaku kejahatan,
dimana setiap negara berhak dan berkewajiban untuk menangkap, menahan, dan
menuntut, serta mengadili pelaku kejahatan dimana pun kejahatan tersebut
dilakukan (Atmasasmita, 2006: 46).
Hukum pidana internasional juga mengandung
beberapa asas hukum yang sedikit berbeda dari asas-asas hukum pada umumnya.
Asas hukum pidana internasional biasanya merupakan ketentuan umum dalam KUHP
masing-masing negara. Karenanya selain berasal dari asas-asas hukum
internasional, asas hukum pidana internasional juga berasal dari asas hukum
pidana nasional.
Asas pertama yaitu
asas yang bersumber dari hukum internasional. Asas ini kemudian terbagi menjadi
dua kategori yakni asas umum dan asas khusus. Terdapat satu asas umum yang
telah diakui keberadaannya oleh masyarakat internasional yaitu asas pacta sunt servanda (perjanjian
yang dibuat mengikat para pihak). Lantaran kemudian asas-asas umum lainnya
seperti, asas itikad baik yang bermakna bahwa semua kebijakan yang diembani
oleh hukum internasional harus dilakukan dengan sebaik-baiknya.
Asas civitas maxima, ada sistem hukum
universal yang dianut oleh semua bangsa dan harus dihormati serta dilaksanakan.
Asas timbal balik, jika suatu negara menginginkan adanya perlakuan baik dari
negara lain, maka negara yang bersangkutan juga harus memberikan perlakuan baik
terhadap negara lain.
Asas ne bis in idem, asas ini merupakan asas yang pada prinsipnya
menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dituntut lebih dari satu kali didepan
pengadilan atas perkara yang sama. Hal ini diatur dalam Pasal 20 (1) dan (2)
Statuta Roma tahun 1998. Asas umum yang terakhir adalah asas legalitas yang
juga diatur dalam Statuta Roma pada tiga pasal yakni
(1) nullum crimen sine
lege, menekankan pada pengaturan tentang perbuatan atau
tindak pidana yang menjadi lingkup statuta;
(2) nulla poena sine lege, pengaturan
tentang penjatuhan pidana atau pemidanaan yang harus mengacu pada ketentuan
dalam statuta;
(3) ratione personae nonretroactive, yaitu
pertanggungjawaban pidana berdasarkan Statuta Roma tidak bisa berlaku surut
(Suarda, 2012: 67-71).
Selain asas umum,
dalam hukum pidana internasional juga dikenal adanya asas khusus yang bersumber
dari hukum internasional. Ada tiga asas khusus diantaranya (1) asas au dedere au
punere, pelaku tindak pidana internasional dapat dipidana
oleh negara tempat locus dilecti atau diekstradisi kepada negara peminta yang
memiliki yurisdiksi untuk mengadili pelaku kejahatan.
Asas (2) au dedere au judicare, yakni setiap
negara berkewajiban untuk menuntut dan mengadili pelaku tindak pidana
internasional. Asas terakhir adalah asas par in parem in hebet imperium, mengandung makna
bahwa kepala negara tidak dapat dihukum dengan menggunakan hukum negara lain.
Asas ini merupakan hak imunitas dari seorang kepala negara dalam hubungan
internasional (Suarda, 2012: 72).
Selanjutnya adalah
asas hukum pidana internasional yang bersumber dari hukum pidana nasional. Asas
pertama adalah asas legalitas, perarturan hukum konkret yang pengertiannya
dapat dilihat dalam UU hukum pidana masing-masing negara sebagai definsi baku
dari asas legalitas itu sendiri.
Seperti asas legalitas hukum pidana Indonesia
yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan, “suatu perbuatan
tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang pidana
yang telah ada”. Asas kedua sama seperti asas yang bersumber dari hukum
internasional yakni ne bis in idem. Asas ketiga ialah asas teritorial yang diartikan
bahwa perundang hukum pidana suatu negara berlaku bagi semua orang yang
melakukan tindak pidana di negara tersebut.
Dalam penegakan hukum pidana
internasional, terkadang pelaku kejahatan yang akan diproses, diadili, atau
dieksekusi tidak berada di wilayah yang akan melakukan proses pengadilan,
tetapi berada di wilayah negara lain. Jika demikian maka ekstradisi tidak dapat
dihindari, oleh sebab itu asas ekstradisi merupakan asas hukum terakhir yang
bersumber dari hukum pidana nasional (Hiariej, 2009: 27-40).
Kejahatan
internasional yang dilakukan oleh subjek-subjek hukum, sudah menjadi kewajiban
setiap negara untuk segera mengadili melalui pengadilan internasional.
Mekanisme penegakan hukum pidana internasional dibedakan menjadi dua cara yakni
penegakan hukum secara langsung dan penegakan hukum secara tidak langusng.
Penegakan hukum secara langsung adalah penegakan hukum pidana internasional
oleh Mahkamah Pidana Internasional. Pelaksanaan peradilan akan dilakukan di Den
Haag, dimana objek kejahatan yang diadili meliputi kejahatan perang, genosida,
kejahatan terhadap kemanusiaan, serta agresi.
Penegakan hukum secara tidak langsung
merupakan cara kedua untuk mengadili tindak pidana, yakni dengan cara
menegakkan norma-norma hukum pidana internasional diikuti pengajuan tuntutan
dan peradilan terhadap pelaku tindak pidana internasional melalui pengadilan
nasional negara tertentu. Penegakan secara tidak langsung biasanya disebabkan
oleh dua hal, yakni karena tempat kejadian (locus dilecti) dan kepentingan
negara yang bersangkutan atas tindak pidana yang telah terjadi (Suarda, 2012:
111-123).
Pada tingkat
internasional, lembaga penegak hukum pidananya adalah international
criminal court(ICC) yang lahir berdasarkan Statuta Roma. ICC
merupakan lembaga penegak hukum pidana internasional yang utama sekarang ini
dan sudah berlaku efektif sejak tanggal 1 Juli 2002.
Tidak seperti pada tingkat
internasional, lembaga yang berwenang mengadili kejahatan pidana di tingkat
nasional lebih mengedepankan mekanisme nasional. Dilihat dari kompetensi
absolut, lembaga peradilan nasional Indonesia yang berperan sebagai lembaga
penegak hukum pidana internasional adalah peradilan umum.
Pada umumnya, suatu
perkara pidana akan diselesaikan di lembaga peradilan umum. Dalam hal-hal
tertentu dapat dibentuk lembaga peradilan khusus, seperti pengadilan khusus
tindak pidana korupsi. Namun “rumahnya” tetap-lah sama, yaitu dibawah
kewenangan peradilan umum (Suarda, 2012: 95-100).
Bertitik tolak dari
pengalaman-pengalaman sebagai akibat peperangan, maka masyarakat internasional
melalui PBB telah sepakat menempatkan kejahatan-kejahatan yang dilakukan semasa
peperangan sebagai kejahatan yang mengancam dan merugikan serta merusak tatanan
kehidupan masyarakat internasional.
Sebab itulah hukum pidana internasional
hadir sebagai hukum yang mengatur aturan-aturan untuk mengadili kejahatan
internasional. Hukum pidana internasional dalam skema ilmu hukum terletak pada
posisi diantara hukum pidana nasional dan hukum internasional.
Suardana (2012)
mengatakan bahwasannya hukum pidana internasional merupakan bridging science of
law yang berfungsi menjelaskan masalah kejahatan
internasional dengan hukum pidana nasional dan hukum internasional.
REFERENSI
Atmasasmita, Romli.
2006. Pengantar Hukum Pidana Internasional. Bandung: Refika
Aditama
Hiariej, Eddy O.S.
2009. Pengantar Hukum Pidana Internasional. Jakarta: Erlangga
Suarda, I Gede
Widhiana. 2012. Hukum Pidana Internasional Sebuah Pengantar. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti
Penulis : Drs.Simon
Arnold Julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.