22 November 2014 - dalam POLITIK KEAMANAN INTERNASIONAL
Konflik terirtorial
sering kali menjadi titik awal perselisihan negara yang berujung pada konflik
internasional hingga perang. Teritorial adalah salah satu syarat bagi entitas
sebuah negara disamping pemerintahan yang berdaulat dan sekelompok masyarakat
didalamnya. Sejak diberlakukannya sistem Westphalia, maka seluruh negara mulai
menerapkan pembatasan wilayah negara secara tegas.
Kendati demikian, timbulnya
konflik yang mengatasnamankan perbatasan demi kedaulatan negara tidak dapat
terhindarkan. Sebagai negara yang berdaulat, setiap negara pasti mempunyai
sifat memaksa untuk mecapai kepentingan nasional. Oleh sebab itu, konflik
internasional yang disebabkan oleh adanya isu ekspansi yang dilakukan suatu
negara di wilayah negara lain sering terjadi.
Tidak hanya keinginan negara untuk
melakukan perluasan wilayah teritorinya, tetapi ketidakjelasan akan batas-batas
wilayah sebuah negara juga menjadi pemicu terjadinya konflik teritorial. Kasus
seperti ini sering terjadi di negara yang pernah mengalami proses kolonialisasi
sebelum kemerderkaanya, karena tidak menutup kemungkinan kerancuan wilayah yang
dijajah menimbulkan tensi ricuh tapal batas teritori akibat terbatasnya
sumber-sumber kuat yang mempertegas batasan wilayah suatu negara. Nilai
teritorial sangatlah mahal dan negara tidak akan menukar wilayahnya dengan
materi apapun, mengingat hubungan teritorial dengan integritas negara yang
sangat dijunjung tinggi sebagai isu high politics.
Memahami konsep
teritori selalu dikaitkan dengan konsep geografi, ada tiga pendekatan yang
diberikan oleh Vasquez dalam Hensel (2000: 1) untuk menjelaskan geografi dapat
memicu timbulnya konflik antar negara.
Pertama, ketika teritorial tersebut
muncul sebagai sumber konflik (territorial perspective);
Kedua, pengaruh
geografi terhadap potensi kontak militer (proximity perspective); dan Ketiga,
pengaruh geografi terhadap frekuensi interaksi antar negara (interaction
perspective). Lantas kemudian alasan-alasan apa sajakah yang
membuat negara begitu memprioritaskan wilayah teritorinya?
Berbicara negara
tidak bisa kita meninggalkan konsep kepentingan nasional dan dalam pemahaman
kepentingan nasional negara selalu menggunakan kekuatan nasionalnya agar dapat
tercapai. Morgenthau (2010) membagi kekuatan nasional sebuah negara ke dalam
dua kategori, yakni tangible power dan inntangible power. Teritorial adalah
kekuatan negara yang dapat dilihat dan diukur keberadaannya, sehingga masuk
dalam kategori tangible power. Faktor tangible inilah yang
kemudian menjadi alasan pertama mengapa negara begitu concern dengan batas-batas
teritorialnya.
Alasan kedua yakni kategorisasi kekuatan nasional selanjutnya,
yakni intangible power. Alasan ini digunakan untuk menggambarkan teritori
sebagai identitas rakyat suatu negara dan sudah pasti menyangkut hal-hal yang
bersifat jati diri bangsa. Seringkali konflik wilayah yang terjadi diakibatkan
oleh alasan identitas, karena masalah tersebut harus kembali lagi ditelaah
bagimana sejarah yang berjalan diantara negara-negara yang bersangkutan.
Alasan
terakhir yakni adanya faktor reputasi negara. Apabila terdapat negara-negara
yang bersengketa terkait wilayah teritori, maka akan berpengaruh pada bagaimana
negara lain memandang negara-negara yang sedang bersengketa. Hal tersebut yang
nantinya akan mempengaruhi interaksi negara bersangkutan dengan negara lain
(Hensel, 2000: 2-4).
Berdasarkan
alasan-alasan yang telah dikemukakan diatas, menunjukkan kepada kita bahwa
teritorial sangat penting bagi negara dan tidak mungkin negara akan serta-merta
memberikan wilayahnya apabila ada negara lain yang berusaha mengklaim bagian
dari wilayah negara yang diklaim. Karenanya, setiap persengektaan wilayah atau
konflik teritorial tidak akan pernah bisa menemukan titik terang atau
penyelesaian dalam waktu yang dekat.
Segala bukti, alasan, serta saksi yang
dapat menguatkan kepemilikan wilayah atas negara akn digunakan sedemikian rupa
agar wilayah bagiannya tidak hilang dari kedaulatan negara. Oleh sebab itu
Andreas (2003) memberikan tiga faktor penghambat mengapa konflik terirtorial
begitu sulit diselesaikan.
Pertama, konflikk teritorial selalu menyangkut pada
kedaulatan sebuah negara. Kedaulatan merupakan inti dari sebuah negara,
sehingga segala sesuatu yang akan mengancam kedaulatan maka negara tidak akan
segan untuk melawannya.
Faktor kedua adalah faktor sejarah atau historis yang
notabene menimbulkan tumpang tindih kepemilikan wilayah. Seperti yang telah
dikatakan sebelumnya, hal ini berkaitan erat pada masa-masa kolonialisasi
negara ketika batas-batas negara tersebt merupakan pemberian dari negara yang
sedang berkoloni pada saat itu.
Faktor pengahambat terahir adalah kepentingan,
tidak bisa kita lepaskan ‘kepentingan’ apabila kita sedang berbicara negara.
Konflik teritorial itu terjadi selalu dikarenakan kesamaan kepentingan pada
satu objek yang dalam hal ini adalah teritorial.
Salah satu konflik
teritorial yang sudah sejak lama dan hingga saat ini belum juga menemukan titik
penyelesaian adalah konflik Laut Cina Selatan. Persengketaan wilayah ini
dilakukan oleh beberapa negara ASEAN, Cina, dan Taiwan sebagai negara yang
pengklaim. Sengketa yang terjadi di Laut China Selatan sangatlah kompleks
karena adanya tumpang tindih klaim antar negara pengklaim.
Tumpang tindih ini
terjadi karena wilayah perbatasan teritorial satu negara pengklaim bertindih
dengan negara lain. Saat ini terdapat dua sengketa di kawasan Laut Cina
Selatan, yaitu sengketa teritorial kawasan Kepulauan Paracel, dan Spratlys,
serta sengketa perbatasan kawasan laut akibat tumpang tindihnya klaim landas
batas maritim antara negara-negara di kawasan tersebut (Ras, 2001: 53).
Hal ini
terjadi karena pengukuran perbatasan laut lebih sulit dilakukan daripada
pengukuran perbtasan darat sebab perbatasan laut harus pula memperhitungkan
keniakan dan penurunan permukaan air laut yang mempengaruhi pengukuran atas
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara yang bersangkutan.
Selain itu,
negara-negara pengklaim kawasan ini juga memiliki dasar tersendiri untuk
mengklaim kawasan yang mereka yakini masuk sebagai bagian dari teritori mereka,
khususnta berdasarkan prinsip landas kontinental atau ZEE sesuai dengan UNCLOS.
Dapat kita lihat
mengenai konflikk Laut Cina Selatan yang telah Penulis jabarkan, secara
inklusif kita harus memahami konflik negara terlebih lagi menyangkut masalah
teritori adalah organ vital negara yang mana menyangkut kedaulatannya. Terlepas
dari faktor low politics seperti ekonomi yang terkandung didalam
teritori, terbentuknya negara salah satunya karena adanya teritori yang diakui
baik secara de facto maupun secara de jure.
Oleh karena itu,
tidak ada satu pun konflik teritori yang dapat diselesaikan secara praktis dan
instan atau dengan kata lain sangat sulit untu diselesaikan. A territorial
dispute is a disagreement over the possession/control of land between two or
more states, or over the possession or control of land by a new state and
occupying power after it has conquered the land from a former state no longer
currently recognized by the new state (Princeton. Edu, t.t).
Setiap negara harus melewati
beragam tahapan yang dapat membantu penyelesaian sengketa, seperti halnya
negosiasi bilateral antara negara yang bersengketa hingga pada tahap terakhir
yakni pihak ketiga yang diselesaikan oleh Mahkamah Internasional. Belum lagi
ketika negara yang bersengketa semakin membuat kondisi menjadi lebih panas
ketika salah satu dari mereka melanggar perjanjian yang semula dibuat untuk
meredam ketegangan diantaranya. Seperti konflik yang terjadi antara Cina dan
Jepang dalam mengatasi sengketa Kepulauan Senkaku.
Sengketa Kepulauan Senkaku
antara Jepang dan Cina mengalami fase krisis yang mengakibatkan munculnya
ketegangan antara kedua negara. Hubungan kedua negara semakin mengalami
ketegangan yang salah satunya ketika terdapat respon pemerintah Jepang pada
tahun 2005 mengenai ijin eksplorasi gas alam oleh Japan Petroleum
Exploration Co dan Teikoku Oil Co disekitar
Laut China Timur. Hal ini mengakibatkan reaksi protes Pemerintah China dan
menganggap bahwa pemerintah Jepang telah mengambil langkah provokasi dan
memaksakan secara sepihak atas kepulauan tersebut (Karismaya, 2013: 544).
Berdasarkan paparan
diatas, apa yang kita pahami sebagai konflik teritorial yang terjadi diantara
negara selalu berkaitan dengan kedaulatannya. Teritori adalah salah satu
prasyarat bagi terbentuknya sebuah negara dan oleh sebab itu negara akan
menjaga dan melindungi wilayah teritorialnya dari segala bentuk ancaman yang
akan mengancam kedaulatannya.
Faktor-faktor seperti kedaulatan, sejarah, dan
kepentingan selalu mewarnai konflik teritori yang selama ini tidak sedikit
telah terjadi. Setiap negara yang sedang berada dalam konflik teritori akan
menghadapi berbagai kesulitan untuk mencari jalan keluar, tumpang tindih
kepentingan dan bukti-bukti sejarah yang digunakan sebagai bukti penguat
menghambat klarifikasi kepemilikan wilayah atas negara yang sebenarnya. Oleh
sebab itu, sudah kewajiban bagi negara untuk menjaga teritorialnya sedemikian
rupa dari segala bentuk ancaman dari luar ataupun keinginann negara yang ingin
menjatuhkan klaim sepihak.
REFERENSI
Andreas, Peter. 2003. “Redrawing
the Line: Border and Security in the Twenty-first Century”, dalamInternational Security Vol. 28, no.2, pp. 78-111
Hensel, Paul R. 2000. “Territory:
Theory and Evidence on Geography and Conflict”, dalam John A. Vasquez,
ed., What Do We Know about
War? Boulder, CO: Rowman
and Littlefield
Karismaya, Hesti. 2013.
“Manajemen Konflik Jepang-China dalam Mengatasi Sengketa Kepulauan Senkaku”,
dalam eJournal Ilmu
Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor
2, Hal, 543-554
Morgenthau, Hans J. 2010. Politik Antar Bangsa (terj. S. Maimoen, A.M, Fatwan, Cecep Sudrajat,Politics among nations, the struggle of power and
peace). Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia
Princenton. edu. T.t. Territorial Dispute, [online]
dalamhttp://www.princeton.edu/~achaney/tmve/wiki100k/docs/Territorial_dispute.html [diakses
22 November 2014]
Ras, Abdul Rivai. 2001. Konflik Laut China Selatan dan Ketahanan Regional
Asia Pasifik Sudut Pandang Indonesia. Jakarta: Yayasan Abdi Persada Siporenmu Indonesia
Ruggie, John Gerard, 1992,
“Territoriality and Beyond: Problematizing modernity in International
Relations”, dalam International
Organizations, 47 (1)
Penulis : Drs.Simon Arnold Julian
Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.