alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Selasa, 03 Maret 2015

KONFLIK TERITORIAL MENYANGKUT KEDAULATAN NEGARA

22 November 2014 - dalam POLITIK KEAMANAN INTERNASIONAL 

Konflik terirtorial sering kali menjadi titik awal perselisihan negara yang berujung pada konflik internasional hingga perang. Teritorial adalah salah satu syarat bagi entitas sebuah negara disamping pemerintahan yang berdaulat dan sekelompok masyarakat didalamnya. Sejak diberlakukannya sistem Westphalia, maka seluruh negara mulai menerapkan pembatasan wilayah negara secara tegas. 
Kendati demikian, timbulnya konflik yang mengatasnamankan perbatasan demi kedaulatan negara tidak dapat terhindarkan. Sebagai negara yang berdaulat, setiap negara pasti mempunyai sifat memaksa untuk mecapai kepentingan nasional. Oleh sebab itu, konflik internasional yang disebabkan oleh adanya isu ekspansi yang dilakukan suatu negara di wilayah negara lain sering terjadi. 
Tidak hanya keinginan negara untuk melakukan perluasan wilayah teritorinya, tetapi ketidakjelasan akan batas-batas wilayah sebuah negara juga menjadi pemicu terjadinya konflik teritorial. Kasus seperti ini sering terjadi di negara yang pernah mengalami proses kolonialisasi sebelum kemerderkaanya, karena tidak menutup kemungkinan kerancuan wilayah yang dijajah menimbulkan tensi ricuh tapal batas teritori akibat terbatasnya sumber-sumber kuat yang mempertegas batasan wilayah suatu negara. Nilai teritorial sangatlah mahal dan negara tidak akan menukar wilayahnya dengan materi apapun, mengingat hubungan teritorial dengan integritas negara yang sangat dijunjung tinggi sebagai isu high politics.
Memahami konsep teritori selalu dikaitkan dengan konsep geografi, ada tiga pendekatan yang diberikan oleh Vasquez dalam Hensel (2000: 1) untuk menjelaskan geografi dapat memicu timbulnya konflik antar negara. 
Pertama, ketika teritorial tersebut muncul sebagai sumber konflik (territorial perspective); 
Kedua, pengaruh geografi terhadap potensi kontak militer (proximity perspective); dan Ketiga, pengaruh geografi terhadap frekuensi interaksi antar negara (interaction perspective). Lantas kemudian alasan-alasan apa sajakah yang membuat negara begitu memprioritaskan wilayah teritorinya? 
Berbicara negara tidak bisa kita meninggalkan konsep kepentingan nasional dan dalam pemahaman kepentingan nasional negara selalu menggunakan kekuatan nasionalnya agar dapat tercapai. Morgenthau (2010) membagi kekuatan nasional sebuah negara ke dalam dua kategori, yakni tangible power dan inntangible power. Teritorial adalah kekuatan negara yang dapat dilihat dan diukur keberadaannya, sehingga masuk dalam kategori tangible power. Faktor tangible inilah yang kemudian menjadi alasan pertama mengapa negara begitu concern dengan batas-batas teritorialnya. 
Alasan kedua yakni kategorisasi kekuatan nasional selanjutnya, yakni intangible power. Alasan ini digunakan untuk menggambarkan teritori sebagai identitas rakyat suatu negara dan sudah pasti menyangkut hal-hal yang bersifat jati diri bangsa. Seringkali konflik wilayah yang terjadi diakibatkan oleh alasan identitas, karena masalah tersebut harus kembali lagi ditelaah bagimana sejarah yang berjalan diantara negara-negara yang bersangkutan. 
Alasan terakhir yakni adanya faktor reputasi negara. Apabila terdapat negara-negara yang bersengketa terkait wilayah teritori, maka akan berpengaruh pada bagaimana negara lain memandang negara-negara yang sedang bersengketa. Hal tersebut yang nantinya akan mempengaruhi interaksi negara bersangkutan dengan negara lain (Hensel, 2000: 2-4).
Berdasarkan alasan-alasan yang telah dikemukakan diatas, menunjukkan kepada kita bahwa teritorial sangat penting bagi negara dan tidak mungkin negara akan serta-merta memberikan wilayahnya apabila ada negara lain yang berusaha mengklaim bagian dari wilayah negara yang diklaim. Karenanya, setiap persengektaan wilayah atau konflik teritorial tidak akan pernah bisa menemukan titik terang atau penyelesaian dalam waktu yang dekat. 
Segala bukti, alasan, serta saksi yang dapat menguatkan kepemilikan wilayah atas negara akn digunakan sedemikian rupa agar wilayah bagiannya tidak hilang dari kedaulatan negara. Oleh sebab itu Andreas (2003) memberikan tiga faktor penghambat mengapa konflik terirtorial begitu sulit diselesaikan. 
Pertama, konflikk teritorial selalu menyangkut pada kedaulatan sebuah negara. Kedaulatan merupakan inti dari sebuah negara, sehingga segala sesuatu yang akan mengancam kedaulatan maka negara tidak akan segan untuk melawannya. 
Faktor kedua adalah faktor sejarah atau historis yang notabene menimbulkan tumpang tindih kepemilikan wilayah. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, hal ini berkaitan erat pada masa-masa kolonialisasi negara ketika batas-batas negara tersebt merupakan pemberian dari negara yang sedang berkoloni pada saat itu. 
Faktor pengahambat terahir adalah kepentingan, tidak bisa kita lepaskan ‘kepentingan’ apabila kita sedang berbicara negara. Konflik teritorial itu terjadi selalu dikarenakan kesamaan kepentingan pada satu objek yang dalam hal ini adalah teritorial.
Salah satu konflik teritorial yang sudah sejak lama dan hingga saat ini belum juga menemukan titik penyelesaian adalah konflik Laut Cina Selatan. Persengketaan wilayah ini dilakukan oleh beberapa negara ASEAN, Cina, dan Taiwan sebagai negara yang pengklaim. Sengketa yang terjadi di Laut China Selatan sangatlah kompleks karena adanya tumpang tindih klaim antar negara pengklaim. 
Tumpang tindih ini terjadi karena wilayah perbatasan teritorial satu negara pengklaim bertindih dengan negara lain. Saat ini terdapat dua sengketa di kawasan Laut Cina Selatan, yaitu sengketa teritorial kawasan Kepulauan Paracel, dan Spratlys, serta sengketa perbatasan kawasan laut akibat tumpang tindihnya klaim landas batas maritim antara negara-negara di kawasan tersebut (Ras, 2001: 53). 
Hal ini terjadi karena pengukuran perbatasan laut lebih sulit dilakukan daripada pengukuran perbtasan darat sebab perbatasan laut harus pula memperhitungkan keniakan dan penurunan permukaan air laut yang mempengaruhi pengukuran atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara yang bersangkutan. 
Selain itu, negara-negara pengklaim kawasan ini juga memiliki dasar tersendiri untuk mengklaim kawasan yang mereka yakini masuk sebagai bagian dari teritori mereka, khususnta berdasarkan prinsip landas kontinental atau ZEE sesuai dengan UNCLOS.
Dapat kita lihat mengenai konflikk Laut Cina Selatan yang telah Penulis jabarkan, secara inklusif kita harus memahami konflik negara terlebih lagi menyangkut masalah teritori adalah organ vital negara yang mana menyangkut kedaulatannya. Terlepas dari faktor low politics seperti ekonomi yang terkandung didalam teritori, terbentuknya negara salah satunya karena adanya teritori yang diakui baik secara de facto maupun secara de jure
Oleh karena itu, tidak ada satu pun konflik teritori yang dapat diselesaikan secara praktis dan instan atau dengan kata lain sangat sulit untu diselesaikan. A territorial dispute is a disagreement over the possession/control of land between two or more states, or over the possession or control of land by a new state and occupying power after it has conquered the land from a former state no longer currently recognized by the new state (Princeton. Edu, t.t). 
Setiap negara harus melewati beragam tahapan yang dapat membantu penyelesaian sengketa, seperti halnya negosiasi bilateral antara negara yang bersengketa hingga pada tahap terakhir yakni pihak ketiga yang diselesaikan oleh Mahkamah Internasional. Belum lagi ketika negara yang bersengketa semakin membuat kondisi menjadi lebih panas ketika salah satu dari mereka melanggar perjanjian yang semula dibuat untuk meredam ketegangan diantaranya. Seperti konflik yang terjadi antara Cina dan Jepang dalam mengatasi sengketa Kepulauan Senkaku. 
Sengketa Kepulauan Senkaku antara Jepang dan Cina mengalami fase krisis yang mengakibatkan munculnya ketegangan antara kedua negara. Hubungan kedua negara semakin mengalami ketegangan yang salah satunya ketika terdapat respon pemerintah Jepang pada tahun 2005 mengenai ijin eksplorasi gas alam oleh Japan Petroleum Exploration Co dan Teikoku Oil Co disekitar Laut China Timur. Hal ini mengakibatkan reaksi protes Pemerintah China dan menganggap bahwa pemerintah Jepang telah mengambil langkah provokasi dan memaksakan secara sepihak atas kepulauan tersebut (Karismaya, 2013: 544).
Berdasarkan paparan diatas, apa yang kita pahami sebagai konflik teritorial yang terjadi diantara negara selalu berkaitan dengan kedaulatannya. Teritori adalah salah satu prasyarat bagi terbentuknya sebuah negara dan oleh sebab itu negara akan menjaga dan melindungi wilayah teritorialnya dari segala bentuk ancaman yang akan mengancam kedaulatannya. 
Faktor-faktor seperti kedaulatan, sejarah, dan kepentingan selalu mewarnai konflik teritori yang selama ini tidak sedikit telah terjadi. Setiap negara yang sedang berada dalam konflik teritori akan menghadapi berbagai kesulitan untuk mencari jalan keluar, tumpang tindih kepentingan dan bukti-bukti sejarah yang digunakan sebagai bukti penguat menghambat klarifikasi kepemilikan wilayah atas negara yang sebenarnya. Oleh sebab itu, sudah kewajiban bagi negara untuk menjaga teritorialnya sedemikian rupa dari segala bentuk ancaman dari luar ataupun keinginann negara yang ingin menjatuhkan klaim sepihak.


REFERENSI
Andreas, Peter. 2003. “Redrawing the Line: Border and Security in the Twenty-first Century”, dalamInternational Security Vol. 28, no.2, pp. 78-111
Hensel, Paul R. 2000. “Territory: Theory and Evidence on Geography and Conflict”, dalam John A. Vasquez, ed., What Do We Know about War? Boulder, CO: Rowman and Littlefield
Karismaya, Hesti. 2013. “Manajemen Konflik Jepang-China dalam Mengatasi Sengketa Kepulauan Senkaku”, dalam eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 1, Nomor 2, Hal, 543-554
Morgenthau, Hans J. 2010. Politik Antar Bangsa (terj. S. Maimoen, A.M, Fatwan, Cecep Sudrajat,Politics among nations, the struggle of power and peace). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Princenton. edu. T.t. Territorial Dispute, [online]
Ras, Abdul Rivai. 2001. Konflik Laut China Selatan dan Ketahanan Regional Asia Pasifik Sudut Pandang Indonesia. Jakarta: Yayasan Abdi Persada Siporenmu Indonesia
Ruggie, John Gerard, 1992, “Territoriality and Beyond: Problematizing modernity  in International Relations”, dalam International Organizations, 47 (1)

Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.