alamat email

YAHOO MAIL : saj_jacob1940@yahoo.co.id GOOGLE MAIL : saj.jacob1940@gmail.com

Selasa, 03 Maret 2015

LEGITIMASI KEBIJAKAN ORGANISASI INTERNASIONAL

23 November 2014 - dalam ORGANISASI INTERNASIONAL 

Ketika negara menghadapi sebuah isu yang pada perjalanannya ia tidak bisa menyelesaikan secara mandiri, bantuan organisasi adalah alternatif negara untuk meminta bantuan penyelesaian melalui kebijakan organisasi. Negara anggota didalam organisasi harus menghormati dan menyetujui segala keputusan yang diambil oleh organisasi. 
Secara tidak langsung keputusan yang dibuat oleh organisasi menunjukkan legitimasinya atau kekuasaan untuk mempengaruhi perilaku negara. Legitimasi digunakan oleh organisasi sebagai pembenaran otoritas yang dipahami sebagai suatu pemahaman yang setara dengan suatu kekuatan pengambilan keputusan mengikat serta untuk melaksanakan aturan yang mengikat tersebut (Wolfrum, 2008 dalam Darnela, 2012). 
Teori klasik hubungan internasional, realis, mengatakan bahwasannya organisasi internasional hanya merupakan produk mnifestasi kepentingan bagi negara khususnya negara besar (Chapman, 2009: 734). Tidak menutup kemungkinan bagi negara-negara besar untuk menyangkal keputusan organisasi, sekalipun organisasi tersebut memiliki wewenang penuh untuk mempengaruhi perilaku negara. Pada saat keputusan organisasi tidak diikuti oleh anggotanya, saat itu pula menandakan apabila legitimasi organisasi dapat direduksi.
Organisasi yang dianggap memiliki legitimasi menggunakan ‘simbol’ untuk menggerakkan kekuasannya. Simbol yang dimaksud disini dapat berupa, objek (logo organisasi), ungkapan atau pernyataan, prosedural (Majelis Umum ketika membuat keputusan berdasarkan voting), maupun gaya berbicara yang memusat menjadi satu dan kemudian dikonstruksikan pada anggota didalam organisasi (Hurd, 2002: 36). Pada proses interaksi di dalam organisasi, simbol tersebut kemudian menimbulkan kekuasaan atau otoritas organisasi, oleh sebab itu simbol juga dikatakan sebagai power
Legitimasi memiliki arti secara normatif dan sosiologis. Untuk mengatakan bahwa sebuah organisasi itu legitimate secara normatif adalah dengan menegaskan bahwa organisasi tersebut memiliki hak untuk mengatur, dimana organisasi yang dimaksud telah menetapkan aturan dan berusaha untuk menjamin adanya kepatuhan atas pelaksanaan aturan tersebut. 
Sedangkan secara sosiologis, sebuah organisasi itu legitimate ketika ia secara luas diyakini memiliki hak untuk mengatur (Buchanan dan Robert, 2008 dalam Darnela, 2012: 621). Oleh sebab itu, legitimasi yang dipegang oleh organisasi dipandang sebagai persepsi atau sebuah norma yang telah terkonstruksi secara sosial (Hurd, 2002: 38). Dengan menggunakan simbolnya, organisasi dapat melegitimasi setiap keputusannya untuk merespon isu-isu yang dihadapi.
Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan salah satu organisasi internasional yang diakui sebagai subjek hukum iternasional dan keberadaannya menjadi sumber kebijakan negara-negara dalam sistem internasional. Resolusi adalah salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB (DK PBB) dan telah menjadi sumber hukum internasional yang sering ditaati oleh negara-negara anggotanya. 
Berdasarkan penilaian Claude (1966), negara kadang menganggap keberadaan organisasi internasional itu legitimate dan karena itu memandang bahwa peran-peran yang dilakukan oleh organisasi internasional tersebut dapat diterima dan benar adanya. Seperti penilaian Claude sebelumnya, DK PBB merupakan organisasi yang memiliki kekuatan karena pernyataan dan resolusinya dianggap mewakili pandangan-pandangan mayoritas negara di dunia. 
DK PBB berwenang untuk mengambil tindakan dengan mengatasnamakan komunitas dunia, sehingga pengaruhnya lebih besar dari suara atau aksi individu (Darnela, 2012: 628). Selain mengatasnamakan komunitas  dunia, legitimasi DK PBB menurut Hurd (2002: 44) menggunakan label peacekeeping yang digunakan untuk mengintervensi konflik lokal negara agar dapat menciptakan kembali situasi dan kondisi seperti sediakala. Kekuatan militer digunakan sebagai dalih
dijalankannya peacekeeping, sebab itu sangat tipis sekali 
perbedaan peacekeeping dengan imperialisme sementara. Akan tetapi hal tersebut tidak dipandang sebagai sesuatu yang negatif, karena efek dari DK PBB yang mempunyai legitimasi atas kebijakannya mengenai peacekeepingtersebut (Hurd, 2002: 45).
Legitimasi adalah sesuatu yang monolistik dan kita harus pahami bahwasannya organisasi tidak pernah mencapai suatu kesepakatan atau suara bulat. Hurd (2002: 46) menjelaskan pada saat sebuah negara menyangkal kebijakan organisasi maka saat itu pula legitimasi organisasi mulai tereduksi atau pudar. Fenomena yang dapat menggambarkan delegitimasi organisasi internasional yakni resolusi Dewan Keaman PBB terkait invasi Amerika Serikat terhadap Irak. 
DEWAN KEAMANAN PBB menolak untuk merespon permintaan Amerika Serikat untuk mengeluarkan sebuah resolusi yang memberi wewenang kepada AS untuk menyerang Irak serta menjatuhkan rezim Saddam Hussein. Akan tetapi, Amerika Serikat tetap saja melakukan invasinya ke Irak pada tahun 2003 tanpa menghiraukan respon negatif yang diberikan oleh DK PBB. 
Berkaca dari tragedi tersebut, Glennon (2003) berpendapat bahwasannya DK PBB telah gagal untuk mencegah serangan AS terhadap Irak serta menunjukkan delegitimasi keberadaan DK PBB yang notabene merupakan organisasi perdamaian dunia. Lantas yang menarik untuk dijadikan pertanyaan adalah, mengapa sebelum AS menginvasi Irak ia mengajukan permohonannya di depan DK PBB terlebih dahulu dan pada faktanya AS tetap menginvasi Irak walaupun DK PBB telah menolak permohonannya? 
Telah dikatakan diawal paragraf, bahwasannya negara akan meminta bantuan organisasi ketika ia merasa tidak bisa menyelesaikan sebuah isu yang dihadapi secara mandiri dan membutuhkan dukungan dari organisasi. Seperti halnya AS yang berniat untuk melancarkan invasi di Irak dan menjatuhkan rezim Saddam Hussein pada tahun 2003. Amerika Serikat jelas membutuhkan dukungan dari PBB terutama para sekutunya untuk mengalahkan Irak demi melancarkan proses demokratisasi di Timur Tengah.
 Menurut hemat Penulis, permohonan AS di depan DK PBB juga sebagai cara lain agar negara besar tersebut tidak di cap sebagai ‘penjahat dunia’ sehingga ia memanfaatkan legitimasi resolusi DK PBB untuk menyerang Irak. Apa yang terjadi justru diluar ekspetasi AS dimana DK PBB justru menolak permohonan AS, kendati demikian AS tetap saja menginvasi Irak karena menuduh Irak telah menyimpan senjata pemusnah massal sehingga membuat AS merasa terancam akan kedaulatannya.
Atas tindakan unilateral yang dilakukan oleh Amerika Serikat dalam menginvasi Irak pada tahun 2003, bukan berarti menandakan bahwasannya DK PBB sebagai lembaga dalam organisasi internasional kehilangan fungsi dan peranannya dalam menjaga perdamaian dunia. DK PBB menyadari bila lembaga tersebut memberikan persetujuan kepada Amerika Serikat, maka dengan serta-merta AS akan menggunakan persetujuan tersebut sebagai landasan untuk menyerang Irak secara sah. 
Seandainya hal tersebut terjadi, menurut Darnela (2012: 626) DK PBB akan kehilangan independensinya dan ini akan menurunkan kredibilitas PBB dihadapan negara-negara anggota PBB. Organisasi internasional seperti PBB memiliki peran yang sangat krusial karena bersifat independen yang diperoleh dari kemampuannya untuk  bertindak atau mengambil kebijakan dan perilakunya yang netral. 
Netralitas organisasi internasional ditunjukkan dengan perannya sebagai agen informasi dan terdapat dua kebaikan didalamnya, yakni organisasi berhak menjatuhkan hukuman bagi mereka (negara) yang bertindak koersif dan organisasi merupakan representatif dari negara-negara di dunia sehingga mengijinkan dirinya untuk menghasilkan informasi. 
Kasus lainnya seperti Perang Teluk II (1990-1991) menggambarkan transmisi informasi dalam organisasi internasional, yakni negara besar sajalah yang mampu memberikan kontrol kepada organisasi internasional. Bersama DK PBB, Amerika Serikat dapat menyebarkan informasi akan kepentingannya kepada pemimpin negara lain dan mengirim kebijakan yang sesuai dengan informasi yang ada kepada publik. 
Informasi tersebut meningkatkan dukungan internasional untuk dilaksanakannya intervensi pada Perang Teluk II. Adanya transmisi informasi tersebut Thompson (2006: 11-12) merangkumnya dalam dua tahap, pertama yakni intention information, dengan menyalurkan niat negara yang bersangkutan dengan memberikan sinyal tujuan moral dalam organisasi kepada negara lain sehingga mendapat dukungan internasional dan kedua dilanjutkan dengan adanya policy informationa yaitu pembenaran domestic public oleh organisasi bahwa kebijakan yang diusung negara pemberi intentions merupakan sebuah konsekuensi.
Berdasarkan paparan diatas, Penulis simpulkan bahwa organisasi membutuhkan legitimasi untuk dapat mempengaruhi negara anggota didalamnya dengan menggunakan kebijakan yang dirumuskan. Akan adanya kemampuan organisasi untuk mempengaruhi negara tersebut maka organisasi internasional bersifat independen. 
Kendati demikian tidak selamanya keputusan organisasi dapat diterima oleh anggotanya, inilah yang disebut delegitimasi atau ketika legitimasi organisasi tersebut dapat direduksi oleh anggotanya. Perilaku sebuah negara yang menyangkal keputusan organisasi bisa saja disebabkan karena bertentangan dengan kepentingan nasional atau tujuan awal negara tersebut menjadi salah satu bagian dari organisasi. 
Bergabungnya negara ke dalam sebuah organisasi diawali dengan kebutuhannya untuk menghadapi isu yang tidak bisa diselesaikan sendiri, oleh sebab itu negara membutuhkan legitimasi dari organisasi karena ia memandang organisasi merupakan badan independen yang sah, benar, dan juga merupakan agen informasi yang dipandang dapat mengakomodasi perumusan kebijakan luar negeri aetiap negara.

REFERENSI
Darnela, Lindra. 2012. “Legitimasi Resolusi Dewan Keamanan OBB dalam Konflik di Darfur Sudan”, dalam Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum. Volume 46, Nomor 2, Hal: 617-640
Claude, Inis. 1996. “Collective Legitimization as a Political Function of the United Nations”, dalam International Organization. Cambridge University
Chapman, Terrence. 2009. “Audience Beliefs and International Organization Legitimacy”, dalam International Organization. Volume 63, Hal: 733-764
Glennon, M. J. 2003. “Why the Security Council Failed”, dalam Foreign Affairs. Volume 82,  Nomor 3
Hurd, Ian. 2002. “Legitimacy, Power and the Symbolic Life of the UN Security Council”, Global Governance. Volume 8, Nomor 1, Hal: 35-51
Thompson, Alexander. 2006. Coercion through IOs: The Security Council and the Logic of Information Transmision, dalam International Organization. Volume 60, Nomor 1, Halaman 1-34
Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.