23 November 2014 - dalam ORGANISASI INTERNASIONAL
Ketika negara
menghadapi sebuah isu yang pada perjalanannya ia tidak bisa menyelesaikan
secara mandiri, bantuan organisasi adalah alternatif negara untuk meminta
bantuan penyelesaian melalui kebijakan organisasi. Negara anggota didalam
organisasi harus menghormati dan menyetujui segala keputusan yang diambil oleh
organisasi.
Secara tidak langsung keputusan yang dibuat oleh organisasi
menunjukkan legitimasinya atau kekuasaan untuk mempengaruhi perilaku negara.
Legitimasi digunakan oleh organisasi sebagai pembenaran otoritas yang dipahami
sebagai suatu pemahaman yang setara dengan suatu kekuatan pengambilan keputusan
mengikat serta untuk melaksanakan aturan yang mengikat tersebut (Wolfrum, 2008
dalam Darnela, 2012).
Teori klasik hubungan internasional, realis, mengatakan
bahwasannya organisasi internasional hanya merupakan produk mnifestasi
kepentingan bagi negara khususnya negara besar (Chapman, 2009: 734). Tidak
menutup kemungkinan bagi negara-negara besar untuk menyangkal keputusan
organisasi, sekalipun organisasi tersebut memiliki wewenang penuh untuk
mempengaruhi perilaku negara. Pada saat keputusan organisasi tidak diikuti oleh
anggotanya, saat itu pula menandakan apabila legitimasi organisasi dapat
direduksi.
Organisasi yang
dianggap memiliki legitimasi menggunakan ‘simbol’ untuk menggerakkan
kekuasannya. Simbol yang dimaksud disini dapat berupa, objek (logo organisasi),
ungkapan atau pernyataan, prosedural (Majelis Umum ketika membuat keputusan
berdasarkan voting), maupun gaya berbicara yang memusat menjadi satu
dan kemudian dikonstruksikan pada anggota didalam organisasi (Hurd, 2002: 36).
Pada proses interaksi di dalam organisasi, simbol tersebut kemudian menimbulkan
kekuasaan atau otoritas organisasi, oleh sebab itu simbol juga dikatakan
sebagai power.
Legitimasi memiliki arti secara normatif dan
sosiologis. Untuk mengatakan bahwa sebuah organisasi itu legitimate secara
normatif adalah dengan menegaskan bahwa organisasi tersebut memiliki hak untuk
mengatur, dimana organisasi yang dimaksud telah menetapkan aturan dan berusaha
untuk menjamin adanya kepatuhan atas pelaksanaan aturan tersebut.
Sedangkan
secara sosiologis, sebuah organisasi itu legitimate ketika ia
secara luas diyakini memiliki hak untuk mengatur (Buchanan dan Robert, 2008
dalam Darnela, 2012: 621). Oleh sebab itu, legitimasi yang dipegang oleh
organisasi dipandang sebagai persepsi atau sebuah norma yang telah
terkonstruksi secara sosial (Hurd, 2002: 38). Dengan menggunakan simbolnya,
organisasi dapat melegitimasi setiap keputusannya untuk merespon isu-isu yang
dihadapi.
Perserikatan
Bangsa-Bangsa merupakan salah satu organisasi internasional yang diakui sebagai
subjek hukum iternasional dan keberadaannya menjadi sumber kebijakan
negara-negara dalam sistem internasional. Resolusi adalah salah satu kebijakan
yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB (DK PBB) dan telah menjadi sumber
hukum internasional yang sering ditaati oleh negara-negara anggotanya.
Berdasarkan penilaian Claude (1966), negara kadang menganggap keberadaan
organisasi internasional itu legitimate dan karena
itu memandang bahwa peran-peran yang dilakukan oleh organisasi internasional
tersebut dapat diterima dan benar adanya. Seperti penilaian Claude sebelumnya,
DK PBB merupakan organisasi yang memiliki kekuatan karena pernyataan dan
resolusinya dianggap mewakili pandangan-pandangan mayoritas negara di dunia.
DK
PBB berwenang untuk mengambil tindakan dengan mengatasnamakan komunitas dunia,
sehingga pengaruhnya lebih besar dari suara atau aksi individu (Darnela, 2012:
628). Selain mengatasnamakan komunitas dunia, legitimasi DK PBB menurut
Hurd (2002: 44) menggunakan label peacekeeping yang
digunakan untuk mengintervensi konflik lokal negara agar dapat menciptakan
kembali situasi dan kondisi seperti sediakala. Kekuatan militer digunakan
sebagai dalih
dijalankannya peacekeeping, sebab itu sangat
tipis sekali
perbedaan peacekeeping dengan imperialisme sementara. Akan tetapi hal
tersebut tidak dipandang sebagai sesuatu yang negatif, karena efek dari DK PBB
yang mempunyai legitimasi atas kebijakannya mengenai peacekeepingtersebut (Hurd,
2002: 45).
Legitimasi adalah
sesuatu yang monolistik dan kita harus pahami bahwasannya organisasi tidak
pernah mencapai suatu kesepakatan atau suara bulat. Hurd (2002: 46) menjelaskan
pada saat sebuah negara menyangkal kebijakan organisasi maka saat itu pula
legitimasi organisasi mulai tereduksi atau pudar. Fenomena yang dapat
menggambarkan delegitimasi organisasi internasional yakni resolusi Dewan Keaman PBB
terkait invasi Amerika Serikat terhadap Irak.
DEWAN KEAMANAN PBB menolak untuk merespon
permintaan Amerika Serikat untuk mengeluarkan sebuah resolusi yang memberi
wewenang kepada AS untuk menyerang Irak serta menjatuhkan rezim Saddam Hussein.
Akan tetapi, Amerika Serikat tetap saja melakukan invasinya ke Irak pada tahun
2003 tanpa menghiraukan respon negatif yang diberikan oleh DK PBB.
Berkaca dari
tragedi tersebut, Glennon (2003) berpendapat bahwasannya DK PBB telah gagal
untuk mencegah serangan AS terhadap Irak serta menunjukkan delegitimasi
keberadaan DK PBB yang notabene merupakan organisasi perdamaian dunia. Lantas
yang menarik untuk dijadikan pertanyaan adalah, mengapa sebelum AS menginvasi
Irak ia mengajukan permohonannya di depan DK PBB terlebih dahulu dan pada
faktanya AS tetap menginvasi Irak walaupun DK PBB telah menolak permohonannya?
Telah dikatakan diawal paragraf, bahwasannya negara akan meminta bantuan
organisasi ketika ia merasa tidak bisa menyelesaikan sebuah isu yang dihadapi
secara mandiri dan membutuhkan dukungan dari organisasi. Seperti halnya AS yang
berniat untuk melancarkan invasi di Irak dan menjatuhkan rezim Saddam Hussein
pada tahun 2003. Amerika Serikat jelas membutuhkan dukungan dari PBB terutama
para sekutunya untuk mengalahkan Irak demi melancarkan proses demokratisasi di
Timur Tengah.
Menurut hemat Penulis, permohonan AS di depan DK PBB juga sebagai
cara lain agar negara besar tersebut tidak di cap sebagai ‘penjahat dunia’
sehingga ia memanfaatkan legitimasi resolusi DK PBB untuk menyerang Irak. Apa
yang terjadi justru diluar ekspetasi AS dimana DK PBB justru menolak permohonan
AS, kendati demikian AS tetap saja menginvasi Irak karena menuduh Irak telah
menyimpan senjata pemusnah massal sehingga membuat AS merasa terancam akan
kedaulatannya.
Atas tindakan
unilateral yang dilakukan oleh Amerika Serikat dalam menginvasi Irak pada tahun
2003, bukan berarti menandakan bahwasannya DK PBB sebagai lembaga dalam
organisasi internasional kehilangan fungsi dan peranannya dalam menjaga
perdamaian dunia. DK PBB menyadari bila lembaga tersebut memberikan persetujuan
kepada Amerika Serikat, maka dengan serta-merta AS akan menggunakan persetujuan
tersebut sebagai landasan untuk menyerang Irak secara sah.
Seandainya hal
tersebut terjadi, menurut Darnela (2012: 626) DK PBB akan kehilangan
independensinya dan ini akan menurunkan kredibilitas PBB dihadapan
negara-negara anggota PBB. Organisasi internasional seperti PBB memiliki peran
yang sangat krusial karena bersifat independen yang diperoleh dari kemampuannya
untuk bertindak atau mengambil kebijakan dan perilakunya yang netral.
Netralitas organisasi internasional ditunjukkan dengan perannya sebagai agen
informasi dan terdapat dua kebaikan didalamnya, yakni organisasi berhak
menjatuhkan hukuman bagi mereka (negara) yang bertindak koersif dan organisasi
merupakan representatif dari negara-negara di dunia sehingga mengijinkan
dirinya untuk menghasilkan informasi.
Kasus lainnya seperti Perang Teluk II
(1990-1991) menggambarkan transmisi informasi dalam organisasi internasional,
yakni negara besar sajalah yang mampu memberikan kontrol kepada organisasi
internasional. Bersama DK PBB, Amerika Serikat dapat menyebarkan informasi akan
kepentingannya kepada pemimpin negara lain dan mengirim kebijakan yang sesuai
dengan informasi yang ada kepada publik.
Informasi tersebut meningkatkan
dukungan internasional untuk dilaksanakannya intervensi pada Perang Teluk II.
Adanya transmisi informasi tersebut Thompson (2006: 11-12) merangkumnya dalam
dua tahap, pertama yakni intention information, dengan menyalurkan
niat negara yang bersangkutan dengan memberikan sinyal tujuan moral dalam
organisasi kepada negara lain sehingga mendapat dukungan internasional
dan kedua dilanjutkan dengan adanya policy informationa yaitu
pembenaran domestic public oleh organisasi
bahwa kebijakan yang diusung negara pemberi intentions merupakan sebuah
konsekuensi.
Berdasarkan paparan
diatas, Penulis simpulkan bahwa organisasi membutuhkan legitimasi untuk dapat
mempengaruhi negara anggota didalamnya dengan menggunakan kebijakan yang
dirumuskan. Akan adanya kemampuan organisasi untuk mempengaruhi negara tersebut
maka organisasi internasional bersifat independen.
Kendati demikian tidak
selamanya keputusan organisasi dapat diterima oleh anggotanya, inilah yang
disebut delegitimasi atau ketika legitimasi organisasi tersebut dapat direduksi
oleh anggotanya. Perilaku sebuah negara yang menyangkal keputusan organisasi
bisa saja disebabkan karena bertentangan dengan kepentingan nasional atau
tujuan awal negara tersebut menjadi salah satu bagian dari organisasi.
Bergabungnya negara ke dalam sebuah organisasi diawali dengan kebutuhannya
untuk menghadapi isu yang tidak bisa diselesaikan sendiri, oleh sebab itu
negara membutuhkan legitimasi dari organisasi karena ia memandang organisasi
merupakan badan independen yang sah, benar, dan juga merupakan agen informasi
yang dipandang dapat mengakomodasi perumusan kebijakan luar negeri aetiap
negara.
REFERENSI
Darnela, Lindra. 2012.
“Legitimasi Resolusi Dewan Keamanan OBB dalam Konflik di Darfur Sudan”,
dalam Jurnal Ilmu Syari’ah
dan Hukum. Volume 46, Nomor
2, Hal: 617-640
Claude, Inis. 1996. “Collective
Legitimization as a Political Function of the United Nations”, dalam International Organization. Cambridge University
Chapman, Terrence. 2009.
“Audience Beliefs and International Organization Legitimacy”, dalam International Organization. Volume 63, Hal: 733-764
Glennon, M. J. 2003. “Why the
Security Council Failed”, dalam Foreign Affairs. Volume 82,
Nomor 3
Hurd, Ian. 2002. “Legitimacy,
Power and the Symbolic Life of the UN Security Council”, Global Governance. Volume 8, Nomor 1, Hal: 35-51
Thompson, Alexander. 2006.
Coercion through IOs: The Security Council and the Logic of Information
Transmision, dalam International
Organization. Volume 60, Nomor
1, Halaman 1-34
Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.