Ikanbijak’s Weblog
Mari Membangun Indonesia Kita Sebagai Negara Kepulauan
Mari Membangun Indonesia Kita Sebagai Negara Kepulauan
Oleh: ikanbijak | April 21, 2008
Penyelesaian Sengketa Nelayan Pelintas Batas di
Wilayah Perikanan Australia
Penyelesaian Sengketa Nelayan Pelintas Batas di Wilayah Perikanan Australia
Oleh : Akhmad Solihin
Sebagai negara yang berbatasan langsung dengan Australia di Laut
Timor, hubungan Pemerintah Indonesia dengan negara kangguru tersebut
senantiasa dihadapkan pada pelanggaran kedaulatan baik oleh warga
negaranya maupun oleh institusi yang mewakili negaranya itu sendiri.
Pelanggaran kedaulatan tersebut kerap berujung pada terciptanya
ketegangan hubungan diplomatik kedua negara.
Ada tidaknya pelanggaran yang dilakukan oleh kedua negara dalam hal
realisasi kedaulatan bukanlah faktor utama penyebab ketegangan, akan
tetapi rambu-rambu hubungan internasional yang pernah berlangsung tidak
bisa diabaikan. Salah satu pelanggaran kedaulatan yang kerap dilakukan
oleh warga negara indonesia di wilayah kedaulatan Australia adalah
aktivitas illegal yang dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional
Indonesia, seperti melakukan tindakan penangkapan satwa-satwa atau
binatang yang dilindungi oleh peraturan perundang-undangan Australia
(Thontowi, 2002).
Adapun nelayan-nelayan tradisional Indonesia yang sering berkunjung
ke wilayah perairan Australia, khususnya Pulau Pasir (Ashmore Reef)
adalah berasal dari daerah Pulau Rote, Flores, Buton, Sabu, Timor, Alor,
Sulawesi dan Maluku (YPTB, 2005). Dengan demikian, adanya kebiasaan
yang dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional Indonesia sejak
berabad-abad tahun yang lalu ini merupakan peluang yang besar bagi
terjadinya konflik antara Indonesia dan Australia, sebagai negara-negara
yang masing-masing memiliki kedaulatan.
Selanjutnya Thontowi menjelaskan bahwa, bagi Pemerintah Australia,
pelanggaran kedaulatan yang dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional
indonesia tersebut menimbulkan tingginya beban ekonomi bagi Pemerintah
Australia. Hal ini dikarenakan, Pemerintah Australia bertanggung jawab
dalam penyediaan tempat tinggal sewaktu ditahan serta pemulangan nelayan
tradisional Indonesia yang tertangkap.
Oleh karena itu, kasus pelanggaran kedaulatan oleh nelayan-nelayan
tradisional Indonesia harus menjadi perhatian bersama untuk segera
dituntaskan. Mengingat, kasus ini bukan hanya merugikan Pemerintah
Australia secara finansial, akan tetapi juga mengganggu kelancaran
hubungan baik kedua negara. Contoh kasus terganggunya hubungan baik
kedua negara adalah pada tahun 2005, dimana pada operasi pemberantasan
illegal fishing di perairan Australia yang dinamakan “Clean Water
Operation” yang berlangsung pada tanggal 12-21 April 2005, aparat
keamanan Australia berhasil menangkap sekitar 30 kapal nelayan Indonesia
dengan 272 ABK. Masalah semakin mencuat ketika Muhammad Heri (Kapten
kapal KM Gunung Mas Baru) meninggal dunia dalam masa penahanan di
Darwin, Australia pada tanggal 28 April 2005.
Perjanjian Bilateral
Pentingnya penuntasan masalah pelanggaran kedaulatan yang dilakukan
oleh nelayan-nelayan tradisional Indonesia ini mendorong Pemerintah
Indonesia dan Pemerintah Australia untuk duduk bersama dalam mengatur
kegiatan nelayan tradisional Indonesia yang beroperasi di wilayah
perairan Australia. Pengaturan tersebut bertujuan agar dapat menjamin
kelangsungan hak-hak perikanan tradisional (traditional fishing rights)
di satu sisi dan dapat melindungi kepentingan-kepentingan Australia di
sisi lain.
Kesepakatan atau perjanjian bilateral antara Indonesia dan Australia
untuk menutaskan masalah ini telah dilakukan tiga kali, yaitu: (1) pada
tahun 1974 yang menghasilkan “Memorandum of Understanding between the
Government of Australia and the Government of the Republic of Indonesia
Regarding the Operations of Indonesian Traditional Fishermen in Areas of
the Australia Exclusive Fishing Zone and Continental Shelf” atau yang
dikenal dengan istilah MOU BOX 1974; (2) pada tahun 1981 yang
menghasilkan “Memorandum of Understanding between the Republic of
Indonesia and the Government of Australia Concerning the Implementation
of Provisional Fisheries Surveillance and Enforcement Arrangement”; dan
(3) pada tahun 1989 yang menghasilkan “Agreed Minutes of Meeting Between
officials of Indonesian and Australia on Fisheries”.
Salah satu substansi yang dimuat dalam ketiga perjanjian tersebut di
atas, adalah tentang jaminan bagi adanya hak-hak perikanan tradisional
Indonesia. Dalam konteks hukum perjanjian internasional, MOU BOX 1974
merupakan perjanjian pertama dan semata-mata mengatur tentang hak
perikanan tradisional. Oleh karena itu, maka baik MOU 1981 maupun Agreed
Minutes 1989 hanyalah merupakan penegasan kembali disertai petunjuk
pelaksana terhadap MOU BOX 1974.
Memorandum of Understanding (MOU) biasanya dipakai dalam perjanjian
internasional untuk memberi nama kepada catatan mengenai pengertian yang
telah disepakati para pihak, yang kemudian digunakan sebagai dasar
persetujuan yang akan dibuat atau sebagai dasar persetujuan yang
mengatur pelaksanaan atau implementasi dari perjanjian induk. Sedangkan
Agreed Minutes (notulen yang disetujui) digunakan untuk menyebut hal-hal
yang disetrujui dalam konferensi, tetapi baru akan menjadi perjanjian
internasional kalau syarat-syarat yang ditentukan terwujud, termasuk
kemauan para pihak untuk terikat (Tsani 1990).
Ketiga perjanjian tersebut di atas juga merupakan hal yang diamanatkan
oleh Pasal 51 United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS
1982), bahwa sebagai negara kepulauan yang berbatasan dengan negara
lain, setiap negara harus mengakui hak-hak perikanan tradisional suatu
negara yang telah berlangsung lama. Namun, syarat untuk melaksanakan
hak-hak perikanan tradisional tersebut adalah perundingan dengan
negara-negara tetangga yang bersangkutan. Adapun bunyi Pasal 51 secara
lengkapnya adalah “Tanpa mengurangi arti pasal 49, negara kepulauan
harus menghormati perjanjian yang ada dengan negara lain dan harus
mengakui hak perikanan tradisional dan kegiatan lain yang sah negara
tetangga yang langsung berdampingan dalam daerah tertentu yang berada
dalam perairan kepulauan. Syarat dan ketentuan bagi pelaksanaan hak dan
kegiatan demikian, termasuk sifatnya, ruang lingkup dan daerah dimana
hak dan kegiatan demikian berlaku, atas permintaan salah satu negara
yang bersangkutan harus diatur dengan perjanjian bilateral antara
mereka. Hal demikian tidak boleh dialihkan atau dibagi dengan negara
ketiga atau warga negaranya”.
Pelanggaran Kedaulatan
Meski Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia telah melakukan
perjanjian bilateral untuk mengatasi masalah pelanggaran kedaulatan yang
dilakukan nelayan-nelayan tradisional Indonesia, namun di lapang
ternyata masih saja terjadi pelanggaran. Hal ini tercermin dari data
tertangkapnya nelayan-nelayan Indonesia, baik tradisional maupun modern
oleh aparat Pemerintah Australia.
Menurut Adhuri (2005), paling tidak ada beberapa isu utama yang harus
kita pahami untuk mengerti konflik atau pelanggaran kedaulatan yang
dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional Indonesia, yaitu:
1. Conflicting Claims
Meskipun Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia telah melakukan
perjanjian-perjanjian, namun masyarakat nelayan, khususnya masyarakat
nelayan dari Nusa Tenggara Timur menganggap bahwa fishing ground
tertentu, khususnya Pulau Pasir (Ashmore Reef) adalah wilayah mereka.
Adapun berbagai perjanjian yang telah dilakukan oleh kedua negara
diantaranya yaitu: (1) perjanjian mengenai batas Landas Kontinen yang
ditandatangani pada tanggal 18 Mei 1971 dan 9 Oktober 1972; (2)
perjanjian mengenai batas Zona Ekonomi Eksklusif yang ditandatangani
tanggal 14 Maret 1997; dan (3) perjanjian mengenai traditional fishing
rights sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya (tahun 1974, tahun
1981, dan tahun 1989).
Usaha klaim masyarakat nelayan dari Nusa Tengara Timur tidak hanya
ditunjukan dengan aktivitas penangkapan ikan di Pulau pasir, akan tetapi
juga telah dilakukan secara politis, dimana Dewan Raja-raja di daratan
Timor, Rote, Sabu dan Alor pada bulan April 2003 telah memberikan mandat
kepada Kelompo Kerja (Pokja) Celah Timor dan Pulau Pasir untuk
memperjuangkan hak-hak dan kepentingan mereka di Laut Timor, termasuk
Celah Timor dan Pulau Pasir.
Klaim mereka terhadap Pulau Pasir didasarkan pada sejarah panjang
aktivitas nelayan-nelayan Nusa Tenggara di pulau ini. Menurut sejarah,
jauh sebelum Kapten Ashmore menemukan Pulau Pasir dan Inggris
mengklaimnya pada tahun 1878, sejak tahun 1609 masyarakat nelayan
Indonesia secara de facto menguasai Pulau Pasir, karena pulau ini tempat
mencari nafkah sekaligus tempat perisitirahatan. Selain itu,
kepemilikan Indonesia atas Pulau Pasir diperkuat juga oleh hasil kajian
YPTB yang menemukan studi Mcknight (1976), bahwa menurut arsip Belanda
diberitakan sesorang saudagar Tionghoa diberi izin pada tahun 1751 untuk
mencari kulit penyu dari gugusan Pulau Pasir yang ada di selatan Pulau
Timor. Dengan demikian, jelas sudah bahwa kegiatan-kegiatan perekonomian
masyarakat Indonesia jauh lebih dulu dibandingkan dengan kedatangan
Kapten Ashmore.
2. Pasar Internasional Sumberdaya Laut
Tidak dapat dipungkiri bahwa faktor keberadaan pasar internasional ikut
andil dalam mendorong aktivitas nelayan-nelayan tradisional Indonesia di
wilayah perairan Australia. Mengingat, sumberdaya yang ditangkap
seperti teripang, trochus, dan sirip hiu bukan lah komoditas yang
dikonsumsi secara langsung oleh mereka, melainkan untuk dijual ke luar
negeri, yaitu pasar Cina.
Adapun bentuk-bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan-nelayan
tradisional Indonesia tersebut diantaranya, yaitu (Songa, 2000):
1. Pelanggaran terhadap wilayah operasi yang telah ditetapkan dalam MOU
BOX 1974 dan Agreed minutes 1989. Pelanggaran ini merupakan pelanggaran
terbanyak yang dilakukan oleh para nelayan tradisional Indonesia. Hal
ini dikarenakan, sebagai akibat dari berubahnya peta wilayah kegiatan
para nelayan tradisional Indonesia yang semula tunduk pada MOU BOX 1974
(Ashmore Reef, Cartier Islet, Scott Reef, Seringapatam Reef, dan Browse
Islet) berubah sesuai dengan Agreed Minutes 1989 (Scott Reef,
Seringapatam Reef, dan Browse Islet). Dengan kata lain, Ashmore Reef dan
Cartier Islet dilarang untuk kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam
hayati.
2. Pelanggaran terhadap ketentuan yang berhubungan dengan pemanfaatan
sumberdaya alam hayati sesuai dengan kesepakatan, baik sesuai MOU BOX
1974 maupun Agreed Minutes 1989. Salah satu jenis pelanggaran yang
sering dilakukan oleh para nelayan tradisional Indonesia adalah
pengambilan jenis-jenis biota laut tertentu sebagai bagian dari
sumberdaya alam hayati yang dilarang, seperti pengambilan penyu dan
burung beserta telurnya.
3. Pelanggaran terhadap penggunaan fasilitas yang digunakan dalam
kegiatan penangkapan ikan, dimana fasilitas tersebut tidak sesuai dengan
apa yang telah ditetapkan melalui MOU BOX 1974 dan Agreed Minutes 1989.
Dalam kenyataan pelanggaran seperti ini terlihat dalam bentuk:
melakukan kegiatan penangkapan dengan menggunakan perahu yang digerakkan
oleh mesin (motor), menggunakan alat-alat penangkapan yang tergolong
modern, bahkan menangkap ikan hiu dengan menggunakan gillnet.
4. Pelanggaran yang dilakukan berhubungan dengan masalah lingkungan
hidup. Hal ini dapat terlihat antara lain dari tindakan para nelayan
yang dapat menimbulkan kebakaran karena lalai memadamkan api setelah
memasak atau membuang puntung rokok tanpa dimatikan terlebih dahulu
apinya, ataupun kegiatan lain yang menyebabkan terkontaminasinya
sumber-sumber air minum pada tempat-tempat dimana para nelayan
diperbolehkan untuk mengambil air minum.
5. Pelanggaran lain yang juga sering dilakukan adalah pemanfaatan
kegiatan penangkapan ikan ini sebagai sarana untuk mengantar dan
memasukan imigran gelap ke Australia.
Adapun faktor-faktor terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional Indonesia, yaitu (Songa, 2000):
1. Pengertian nelayan terhadap MOU BOX 1974 maupun Agreed Minutes 1989
masih kurang. Hal ini disebabkan karena tingkat pendidikan mereka yang
masih relatif rendah, sehingga sangat besar kemungkinan mereka tidak
dapat membaca peta dan karenanya tidak dapat mengenali dengan tepat
wilayah operasinya.
2. Nama pulau dan daerah yang disebut dalam MOU BOX 1974 maupun Agreed
Minutes 1989, mungkin saja berbeda dengan nama yang dikenal sehari-hari
oleh nelayan tradisional Indonesia. Seperti Pulau Pasir yang dinamakan
Australia sebagai Ashmore Reef, Pulau Baru dinamakan Cartier Islet, dan
Pulau datu dinamakan Seringapatam Reef.
3. Para nelayan tradisional Indonesia kurang mengetahui batas wilayah
yang disebut dalam MOU BOX 1974 maupun Agreed Minutes 1989 secara pasti.
Hal ini terjadi karena, selain para nelayan tradisional tidak dapat
mengerti/membaca peta tetapi juga karena tidak terdapat tanda-tanda yang
jelas yang menunjukan batas-batas sebagaimana yang dimaksudkan oleh MOU
1974 maupun Agreed Minutes 1989. Sementara para nelayan tradisional
pada umumnya tidak dilengkapi dengan peralatan navigasi yang memadai.
4. Hasil yang diperoleh dari usaha penangkapan cukup banyak atau cukup
memuaskan sehingga para nelayan tidak ingin untuk melakukan kegiatan di
bidang usaha lain.
5. Pengaruh faktor sosial dan budaya, dimana keluarga-keluarga tertentu
dari masyarakat nelayan tradisional Indonesia asal Papela – Rote, setiap
tahunnya mengadakan kunjungan ke makam leluhurnya yang meninggal dan
dikuburkan di Pulau Pasir (Ashmore Reef). Saat mengunjungi makam ini
biasanya dilakukan bersama-sama dengan mencari hasil-hasil laut
sebagaimana dilakukan oleh nenek moyangnya sejak beratus-ratus tahun
yang lalu. Konsekuensinya dari kegiatan ini adalah bahwa mereka (para
nelayan tradisional Indonesia) pasti memasuki wilayah konservasi alam
Ashmore Reef, yang seyogyanya dilarang.
Tugas Pemerintah
Hingga saat ini, paling tidak ada dua cara yang dilakukan untuk
mengatasi pelanggaran kedaulatan yang dilakukan oleh nelayan-nelayan
tradisional Indonesia, yaitu penanganan secara hukum dan pendekatan
persuasif (Adhuri, 2005). Penanganan secara hukum yang dilakukan
berdasarkan hukum Australia kurang efektif, karena masih banyak
nelayan-nelayan tradisional Indonesia yang melakukan pelanggaran.
Sedangkan cara yang kedua adalah alternative livelihood atau
pengalihan mata pencaharian yang dilakukan melalui gerakan dari
Australian National University dengan disponsori beberapa lembaga negara
maupun LSM dari Australia. Beberapa usaha alternatif yang dikembangkan
adalah budidaya rumput laut, usaha pembesaran ikan kerapu, dan budidaya
sponges. Tujuan dari program ini adalah menurunnya aktivitas pelanggaran
kedaulatan nelayan-nelayan tradisional Indonesia di wilayah perairan
Australia.
Kritikan bagi cara-cara yang dilakukan selama ini sebagaimana yang disebutkan di atas adalah:
1. Penanganan secara Hukum
Penyelesaian hukum yang kerap mengusik rasa keadilaan yang menyebabkan
ketersinggungan dan menyulut emosi kebangsaan, maka Pemerintah Indonesia
dan Australia harus duduk bersama guna mendapatkan penyelesaian yang
sifatnya win-win solution. Penyelesaian kasus nelayan tradisional
Indonesia selama ini diselesaikan dengan proses peradilan telah
menyebabkan pasang-surut hubungan Indonesia-Australia. Ada dua fenomena
penting yang menarik mengenai penyelesaian persoalan nelayan Indonesia
di perairan Australia, yaitu: Pertama, bahwa putusan hakim Australia
kurang efektif karena para nelayan Indonesia tidak jera untuk
menghentikan kegiatannya dalam jurisdiksi teritorial Australia, dan
Kedua, Pemerintah Australia mengklaim bahwa kedatangan nelayan-nelayan
Indonesia telah merugikan Pemerintah Australia dan orang asli aborigin
(Thontowi, 2002).
Oleh karena itu, untuk menuntaskan sengketa ini perlu mengedepankan
penyelesaian secara damai guna menciptakan perdamaian dan keamanan
internasional sesuai dengan yang diamanatkan Pasal 33 ayat (1) Piagam
PBB, yaitu negosiasi, penyelidikan, dengan peraturan, konsiliasi,
arbitrase, penyelesaian menurut hukum, melalui badan-badan atau
perjanjian setempat, atau dengan cara damai lain yang dipilihnya
sendiri. Untuk kasus pelanggaran perikanan nelayan Indonesia, Jawahir
Thontowi menyarankan alternatif penyelesaiannya melalui non-peradilan
yang dalam hal ini adalah komisi arbitrase yang diharapkan mampu
mengambil tanggung jawab bersama, sehingga baik secara moral maupun
secara hukum internasional, kedua negara harus berusaha untuk menegakkan
ketertiban dunia. Selain itu, dipilihnya komisi arbitrase dalam
penyelesaian pelanggaran diyakini dapat menciptakan rasa keadilan dan
menjauhkan ketersinggungan, mengingat kedua negara diwakili oleh
masing-masing wasit.
Meskipun bukan satu-satunya solusi alternatif, namun penyelesaian
non-peradilan melalui komisi arbitrase Indonesia – Australia akan lebih
akomodatif dan relevan serta mencerminkan kepentingan dua negara. Hal
ini dikarenakan, komisi arbitrase dapat berperan dalam mengeliminir
tumpang tindih ketentuan hukum laut yang selama ini belum dapat
dirumuskan. Tumpang tindih ketentuan hukum tersebut, yaitu perjanjian
batas Landas Kontinen Indonesia Australia yang berdasarkan pada Konvensi
Jenewa Tahun 1958 sedangkan perjanjian batas Zona Ekonomi Eksklusif
yang berdasarkan pada UNCLOS 1982. Perbedaan penggunaan dasar aturan
inilah yang menimbulkan tumpang tindih zona sehingga dikhawatirkan
menimbulkan konflik dikemudian hari. Memang, dalam UNCLOS 1982 wilayah
ZEE dan Landas Kontinen tunduk pada aturan yang berbeda sesuai dengan
rezim hukumnya masing-masing. Namun, dalam perkembangan yang baru,
penyelesaian batas maritim antara ZEE dan Landas Kontinen cenderung satu
garis.
2. Alternative Livelihood
Mengenai kebijakan alternative livelihood yang ditawarkan Australia
perlu disikapi secara seksama, mengingat pengalihan mata pencaharian
nelayan-nelayan tradisional dari status sebagai nelayan menjadi
pembudidaya ikan dapat melemahkan eksistensi hak-hak perikanan
tradisional. Padahal, status hak-hak perikanan tradisional sudah diakui
dalam hukum internasional. Oleh karenanya, yang harus dilakukan oleh
Pemerintah Australia dalam hal menjalin kerjasama, bukanlah bertujuan
mengalihkan kegiatan para nelayan, melainkan memelihara dan
melestarikannya sebagai suatu hak yang telah diakui oleh hukum
internasional. Untuk itu, agar tidak terjadi pelanggaran, maka kegiatan
yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah Australia adalah pengadaan
fasilitas berupa alat navigasi dan fasilitas lain yang dapat membantu
kegiatan para nelayan tradisional. Apabila ini tidak dibangun, dan
Pemerintah Australia hanya memfokuskan pada pengalihan mata pencaharian,
berarti Pemerintah Australia bermaksud menghilangkan hak-hak perikanan
tradisional nelayan-nelayan Indonesia.
Dengan demikian, di samping menuntut dibentuknya Komisi Arbitrasi
untuk menyelesaikan kasus hukum pelanggaran kedaulatan, Pemerintah
Indonesia harus menuntut pembangunan fasilitas navigasi agar tidak
terjadi pelanggaran nelayan-nelayan tradisional Indonesia dalam
melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah yang diperjanjikan.
Hal lain yang juga diperhatikan Pemerintah Indonesia adalah
pembahasan ulang perjanjian mengenai hak perikanan tradisional. Pada
perjanjian MOU 1981 dan Agreed Minutes 1989, Pemerintah Australia secara
sepihak merubah sebagian isi perjanjian MOU 1974, yaitu perubahan
status Ashmore Reef sebagai kawasan pelestarian taman nasional sejak
tahun 1983 serta pembatasan tangkapan biota laut. Hal ini dikarenakan,
para ahli hukum dan Konvensi Wina tahun 1969 mengisyaratkan harus ada
kesekapatan para pihak dalam melakukan perubahan terhadap isi perjanjian
yang telah disepakati. Selain itu, dalam pembahasan ulang perjanjian
tersebut harus menuntaskan pengertian nelayan tradisional, karena
ketidakjelasan pengertian ini menyebabkan perbedaan penafsiran. Bruce
dan Wilson dalam Thontowi (2002) menyatakan bahwa rumusan nelayan
tradisional itu tidak tepat oleh karena mengandung kelemahan konseptual.
Menurut pengertian hak perikanan tradisional, ada empat yang harus
diperhatikan, yaitu: (1) nelayan-nelayan yang bersangkutan secara
tradisional telah menangkap ikan di suatu perairan tertentu; (2)
nelayan-nelayan tersebut telah menggunakan alat-alat tertentu secara
tradisional; (3) hasil tangkapan mereka secara tradisional adalah jenis
ikan tertentu; dan (4) nelayan-nelayan yang melakukan penangkapan ikan
tersebut haruslah nelayan yang secara tradisional telah melakukan
penangkapan ikan di daerah tersebut (Djalal, 1988).
Namun, ternyata kriteria di atas juga menyimpan masalah yang
menimbulkan ketidakjelasan, misalnya perbedaan istilah nelayan
tradisional di Indonesiaa dengan di Australia. Apakah yang dikategorikan
nelayan tradisional itu sama dengan nelayan kecil yang kapal penangkap
ikannya harus bermesin dalam (inboard) berukuran 5 GT ke bawah atau
perahu bercadik yang hanya menggunakan angin untuk pergerakannya.
Ironisnya, ketidakjelasan istilah ini pun terjadi dalam peraturan
perundang-undangan kita, misalnya pada Undang-undang No. 31 Tahun 2004
tentang Perikanan. Disebutkan, bahwa nelayan kecil adalah orang yang
mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari. Sungguh pengertian yang sangat tidak jelas, sehingga
sangat wajar muncul gerakan ketidakpuasan yang berujung penuntutan agar
UU No. 31 Tahun 2004 segera diamandemen.
Dengan tidak jelasnya istilah nelayan tradisional tersebut, maka setiap
saat nelayan tradisional Indonesia selalu ditangkapi oleh aparat
keamanan Australia. Sehingga istilah “sudah jatuh tertimpa tangga” lebih
tepat bagi nelayan tradisional, karena di satu sisi, mereka tidak
terperhatikan oleh Pemerintah Indonesia yang terlalu berkonsentrasi pada
kapal asing yang lebih menggiurkan. Sementara di sisi lain, nelayan
tradisional diposisikan sama dengan pencuri oleh Pemerintah Australia.
Tinjauan Pustaka
Adhuri, Dedi S (Ed). 2005. Fishing In, Fishing Out: Memahami
Konflik-konflik Kenelayanan di Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Timur.
Lipi Press. Jakarta.
Djalal, Hasjim. 1988. Perkembangan Hukum Nasional dalam Hubungannya dengan Hukum Laut Internasional. Makalah Terbatas Lemhanas.
Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982
Songa, Wilhelmus Wetan. 2000. Pelaksanaan Perjanjian Antara Indonesia
dan Australia tentang hak Perikanan Tradisional Dikaitkan dengan
Nelayan Asal Nusa Tenggara Timur (Tidak Dipublikasikan). [Tesis].
Bandung. Program Studi Ilmu Hukum. Program Pascasarjana Universitas
Padjadjaran.
Tsani, Muhamad Burhan. 1990. Hukum dan Hubungan Internasional. Liberty. Yogyakarta.
Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
https://ikanbijak.wordpress.com/2008/04/21/penyelesaian-sengketa-nelayan-pelintas-batas-di-wilayah-perikanan-australia/
Penulis : Drs.Simon Arnold Julian Jacob
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.