Selasa, 15 Maret 2005 | WACANA |
Ambalat, Buntut Sipadan - LigitanOleh: Sudijono
KONFLIK Ambalat merupakan dampak kekalahan Indonesia pada sidang
Mahkamah Internasional yang mengadili status kepemilikan Pulau Sipadan
dan Ligitan 18 Desember 2002. Pemilikan dua pulau itu diputuskan jatuh
ke tangan Malaysia.
Konflik Sipadan - Ligitan bermula ketika Malaysia menerbitkan peta 21
Desember 1979 yang mencantumkan Pulau Sipadan dan Ligitan termasuk wilayahnya,
yang dijawab Indonesia dengan protes diplomatik 8 Februari 1980 dan 15
April 1992. Konflik ini setelah mengalami jalan buntu, dibawa ke Mahkamah
Internasional. Setelah Malaysia memenangkan kepemilikan P. Sipadan dan P. Ligitan, negara itu mengklaim sepihak perairan Ambalat sebagai miliknya. Di sinilah arogansi Malaysia, menentukan tapal batas tanpa melihat kepemilikan negara tetangga. Pengalaman penulis sebagai anggota Komisi Kerja Sama Militer dan Perbatasan Malindo, Malaysia sangat "licin", tidak satunya kata dan perbuatan yang dalam istilah Jawa ambuntut arit. Inilah suatu siasat yang harus disikapi delegasi Indonesia dalam perundingan, hendaknya waspada karena "di atas" boleh bilang setuju, "di bawah" pendudukan (occupation) jalan terus dan selalu mengulur waktu menunggu saat kita lengah. Masa Lalu Konvensi London (1891) antara pemerintahan Hindia-Belanda dan Protektorat Inggris, Pasal I menyebutkan batas wilayah yang dikuasai Hindia Belanda dan wilayah protektorat Inggris di Kalimantan Timur, didasarkan atas garis lintang 40 10` Utara. Pasal IV, selanjutnya perbatasan pulau-pulau yang terletak di sebelah timur Kalimantan yang meliputi P.Sebatik berdasarkan garis lintang 40 10` Utara. Dalam Pasal V, disebutkan garis batas yang tersebut dalam Pasal I dan IV diatur oleh kedua belah pihak dan ditentukan kemudian. Sebagai tindak lanjut dalam Protokol London yang ditandatangani oleh kedua belah pihak 26 September 1915, ditetapkan perbatasan wilayah yang dikuasai Hindia Belanda berdasarkan Pasal I dan IV Konvensi London (1891) adalah garis batas yang ditarik pada lintang 40 10` Utara ke arah timur. P.Sipadan dan P.Ligitan berada di sebelah selatan lintang 40 10`Utara, berarti milik pemerintah Hindia Belanda. Nelayan Indonesia dari P.Sebatik dan P.Nunukan apabila pulang atau akan berangkat mencari ikan di perairan Kalimantan Timur singgah beberapa saat di P.Ligitan dan P.Sipadan untuk mengambil air. Hal ini dibuktikan oleh survei Indonesia pada tahun 1990-an, di sana ada gubuk nelayan Indonesia. Kepemilikan P.Sipadan dan P.Ligitan oleh Malaysia berdasarkan kepemilikan Kesultanan Sabah sebelum penjajahan Inggris. Dengan tidak memperhatikan kepentingan negara tetangga, Malaysia mengklaim P.Sipadan dan P.Ligitan sebagai miliknya. Lemahnya diplomasi Indonesia dengan dalih "semangat ASEAN" dalam berbagai perundingan yang mengalami jalan buntu, sepakat menjalin status quo. Dalam kondisi status quo ini Malaysia menjadikan P.Sipadan sebagai daerah wisata dengan paket wisata Kinabalu, bahkan Malaysia membuat "pulau buatan" di Karang Rough di utara lintang 40 10` Utara berdekatan dengan P.Sipadan. Suatu hal yang perlu dicatat, pemerintahan Protektorat Inggris sejak zaman penjajahan menempatkan pos pengawas, polisi hutan, untuk memelihara kelestarian lingkungan. Sedangkan pemerintah Hindia Belanda tidak ada perhatian dan tidak berbuat sesuatu. Unclos 1982, Hukum Laut Internasional telah diratifikasi oleh 60 negara peserta termasuk Indonesia dan Malaysia, konsep negara kepulauan telah diakui dalam konvensi tersebut, berarti Indonesia sebagai negara kepulauan dapat menentukan laut teritorial diukur 12 mil dan ZEE 200 mil dari garis pangkal (straight base line). Sedangkan Malaysia sebagai negara kontinental diukur dari garis pantai (coastal line). Hal ini mengakibatkan penentuan batas wilayah RI-Malaysia semakin kompleks dan rawan terjadi konflik. Krisis Ambalat Tumpang tindih wilayah dengan Malaysia ini terungkap pada tahun 1979, saat dua negara membicarakan batas wilayah perairan di sebelah timur Kalimantan Timur. Kedua belah pihak sepakat menunda perundingan karena menemui jalan buntu. Pada kesempatan ini Malaysia menerbitkan peta 21 Desember 1979 tentang wilayah Malaysia di Kalimantan Timur. Indonesia melayangkan protes ke Kedutaan Besar Malaysia 8 Februari 1980 dan 15 April 1992. Demikian juga pihak Malaysia melayangkan protes terhadap kehadiran kapal perang Indonesia di perairan P.Sipadan dan P.Ligitan. Protes ini telah dijawab oleh pemerintah Indonesia dengan nota diplomatik 30 Juni 1992. Dengan demikian kepemilikan kedua pulau tersebut menjadi sengketa perbatasan yang serius. Untuk penyelesaian masalah tersebut kedua belah pihak membuka perundingan baru dan 7-11 Oktober 1991 membentuk Joint working group on Sipadan and Ligitan. Kedua belah pihak mengumpulkan dokumen dan data tersebut untuk dilaporkan dalam sidang berikutnya. Dalam pertemuan keempat 6-9 Juni 1995 mengalami jalan buntu, akhirnya sengketa tersebut sepakat dibawa ke Mahkamah Internasional. Pihak Indonesia begitu yakin akan dokumen yang dimiliki secara otentik serta kredibelitas Presiden Soeharto sebagai pemimpin ASEAN pada waktu itu dan optimistis akan menang. Malaysia dengan bukti kepemilikan kedua pulau tersebut oleh Kesultanan Sabah sebelum penjajahan Inggris (pemerintahan Protektorat) serta kepedulian pemerintah protektorat Inggris dengan menempatkan polisi hutan untuk mengawasi kelestarian P. Sipadan, serta mengabaikan Konvensi London 1891. Apa yang terjadi dari 1995 sampai 2002 ?, Suharto jatuh, pemimpin penggantinya kredibilitasnya "lemah", dan posisi Mahatir Muhammad menjadi Leader of ASEAN menggantikan Suharto, kredibilitasnya menjadi kuat. Disamping itu lobi Malaysia di Eropa yang kuat, bukan mustahil menjadikan isu ini masuk dalam konspirasi global negara maju. Akhirnya setelah mendengarkan laporan kedua belah pihak dan atas pertimbangan de facto kepedulian pemerintahan protektorat Inggris yang telah hadir dan memelihara kelestarian P.Sipadan, Mahkamah Internasional memutuskan P.Sipadan dan P.Ligitan menjadi wilayah Malaysia. Konsekuensi dari keputusan ini Malaysia secara sepihak menarik batas laut teritorial 12 mil dan ZEE 200 mil yang tumpang tindih dengan ZEE RI, tanpa pemberitahuan kepada Indonesia langsung menghadirkan kapal perangnya di wilayah tersebut, menghardik nelayan Indonesia, menghalangi pembuatan Menara Suar Unarang dan memasang tanda-tanda di perairan Ambalat. Klaim Ambalat menjadi wilayah Malaysia secara resmi baru diumumkan 6 Maret 2005. Itulah siasat Malaysia sebagai bangsa yang bertetangga baik dengan "semangat ASEAN". Taktik ini perlu dijawab dengan berbagai cara sesuai eskalasi ancaman mulai dari diplomasi, negosiasi, patroli laut-udara dan yang paling keras adalah konflik bersenjata. Menurut Konvensi London (1891) dan Protokol London yang ditandatangani kedua belah pihak 26 September 1915, batas wilayah RI dengan Malaysia secara tegas dinyatakan lintang 40 10` Utara , dengan demikian daerah sebelah selatan lintang 40 10`Utara adalah wilayah RI. Namun putusan Mahkamah Internasional 18 Desember 2002 memasukkan P.Sipadan dan P.Ligitan masuk menjadi wilayah Malaysia. Yang dapat diambil oleh Malaysia paling mungkin adalah laut teritorial sekitar P.Sipadan dan P.Ligitan sejauh 12 mil. Itu pun tidak otomatis, harus dirundingkan dahulu dengan pemerintah RI yang telah menguasai wilayah tersebut. Sesuai Hukum Laut Internsional (Unclos 1982) Indonesia sebagai negara kepulauan pada tahun 1981 telah mendeklarasikan sebagai negara kepulauan meliputi garis pangkal, perairan kepulauan, laut teritorial dan ZEE. Indonesia telah merundingkan batas landas kontinental dengan berbagai negara tetangga. Penentuan batas ini ada yang belum selesai dan ada yang sudah selesai. Karang Unarang di timur P.Sebatik masih dalam wilayah yurisdiksi nasional RI. Pulau Sebatik bagian selatan, P.Nunukan, P.Bunyu, Ambalat dan Bukat masih juga dalam perairan yurisdiksi nasional RI. Dengan jatuhnya P.Sipadan dan P.Ligitan Indonesia kehilangan 1300 mil persegi, laut teritorial di sekitar P. Sipadan dan P. Ligitan dan wilayah ZEE yang masih harus dirundingkan dengan Indonesia sebelum diumumkan. Menara suar Unarang yang sedang dibangun RI, sesungguhnya akan dibuat 1991 tetapi dicegah oleh "pihak atasan". Sebagai gantinya dibuat pelampung suar berjangkar, namun dirusak oleh pihak Malaysia, demikian juga apabila diperbaiki selalu dirusak pula. Kita bangga atas keputusan pemerintah RI sekarang untuk melanjutkan pemasangan menara suar di Unarang secara berani dengan pengawalan TNI-AL. Lain halnya Malaysia sebagai negara kontinental, batas laut teritorial diukur 12 mil dari garis pantai (coastal line), dalam hal ini garis pantai P.Sipadan dan P.Ligitan. Penentuan ZEE dan laut teritorial ini tidak otomatis berlaku, harus dideklarasikan. Apabila berbatasan dengan perairan negara tetangga harus dirundingkan terlebih dahulu, tidak diklaim secara sepihak seperti Ambalat pada tanggal 6 Maret 2005, Malaysia langsung menghadirkan kapal perang, kapal polisi, dan menghardik nelayan Indonesia yang mempunyai hak turun - temurun menangkap ikan di daerah tersebut dan menghalangi pembangunan menara suar. "arogansi" Malaysia seperti diuraikan di atas, dapat dilihat peta sebagai berikut : Solusi Presiden SBY kiranya memahami semua masalah ini bahkan secara gagah berani sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI telah meninjau wilayah konflik. Hal ini perlu mendapat acungan jempol. Tinggal sekarang bagaimana Presiden SBY menyiapkan pengadaan kapal perang dan pesawat udara yang kualitas dan kuantitasnya unggul dan mampu menghadapi semua ancaman termasuk penyiapan Pangkalan TNI AL Tarakan dan Pangkalan Udara Spinggan Balikpapan. Diharapkan legislatif pun membantu hal ini, tidak "hanya ribut saja" soal pengadaan peralatan TNI seperti masa lalu. Patroli laut di blok Ambalat termasuk patroli TNI AL dan TNI AU perlu dilaksanakan sepanjang tahun secara sistematis. Menara suar Unarang perlu dikawal pasukan TNI sampai aman dari gangguan. Nelayan Kaltim yang secara turun-temurun menangkap ikan di perairan ini perlu dilindungi, kalau perlu dikawal kapal perang. Pemda Kaltim mendukung pergelaran kekuatan ini, eksplorasi dan eksploitasi blok Ambalat perlu diteruskan. Rakyat di perbatasan siap mengantisipasi keadaan darurat. Dengan kehadiran kapal perang TNI AL di daerah ini penyulundupan, illegal logging lebih mudah diberantas. Diplomasi tanpa dukungan TNI yang kredibel akan sia-sia. Kita tidak boleh lengah terhadap "kelicinan" Malaysia dan ikutnya kekuatan global bermain serta tidak membawa masalah ini ke Mahkamah Internasional. Kita secara yuridis sesuai Unclos 1982 menguasai blok Ambalat serta secara de facto dan turun-temurun menguasai perairan tersebut. Sedang Malaysia baru mengklaim setelah memenangkan perkara P. Sipadan dan P. Ligitan dan baru diumumkan pada tanggal 6 Maret 2005. Sejengkal tanah air tidak boleh lepas dari pangkuan Ibu Pertiwi, sebagaimana pengalaman masa lalu, lepasnya Timor Timur, P. Sipadan dan P. Ligitan.(18) -Sudijono, S IP, MSi, pengamat Maritim, mantan Dan Lanal Semarang, mantan Direktur AMNI Semarang. |
Copyright© 1996-2004 SUARA MERDEKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.