BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Semenjak
berakhirnya Perang Dunia II, tidak ada cabang hukum Internasional yang
lebih banyak mengalami perubahan secara mendalam dan revolusioner,
selain daripada hukum laut. Hukum laut telah mengalami
perubahan-perubahan yang mendalam sesuai dengan perkembangan zaman. Hal
ini dikarenakan sumber kekayaan mineral yang terkandung di dasar laut
itu sendiri, merupakan penghubung bangsa-bangsa dari segala sektor
kegiatan manusia, dan kekayaan sumber hayati serta karena 70% dari
permukaan bumi terdiri dari laut.
Kini
hukum laut tidak hanya mengatur atau mengurus kegiatan-kegiatan
negara-negara di atas permukaan laut saja, tetapi telah mengatur dan
mengurus kegiatan-kegiatan pada dasar laut dan kekayaan mineral yang
terkandung di dalamnya. Oleh karena keinginan negara-negara untuk
penggunaan kekayaan-kekayaan laut itu, maka negara-negara berusaha keras
untuk membuat hukum laut yang mengatur atau mengurus permasalahan
mengenai kedaulatan atau kekuasaan negara-negara pantai terhadap laut,
dan sampai sejauh mana negara-negara pantai dapat mengambil
kekayaan-kekayaan yang tersedia di dasar laut dan laut di atasnya, serta
untuk mengatur eksploitasi daerah-daerah dasar laut yang telah
dinyatakan sebagai warisan bersama umat manusia.
Puncak
dari berbagai perundingan mengenai masalah kelautan adalah diadakannya
Konperensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hukum Laut (United Nations Conference on the Law of the Sea)
pada tahun 1982 di Montego Bay, Jamaika. Dalam konperensi ini telah
ditandatangani suatu perjanjian internasional yang mencakup hampir
seluruh permasalahan di bidang kelautan. Perjanjian internasional ini
dikenal dengan nama Konvensi PBB mengenai Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS).
Konvensi ini merupakan perkembangan paling penting dalam kesuluruhan
ketentuan hukum internasional berkenaan dengan lautan bebas.
Pemerintah
Indonesia sudah sejak lama turut aktif dalam berbagai perundingan
mengenai terbentuknya berbagai perjanjian internasional di bidang
kelautan dikarenakan Indonesia merupakan negara kepuluan yang memiliki
wilayah perairan terbesar di dunia dan dua pertiga dari wilayahnya
merupakan wilayah perairan. Secara geografis Indonesia merupakan negara
maritim, yang memiliki luas laut sebesar 5,8 Juta km² yang terdiri dari
laut territorial dengan luas 0.8 juta km2, laut nusantara 2.3 juta km2
dan zona ekonomi eksklusif 2.7 juta km2. Disamping itu Indonesia
memiliki pulau sebanyak 17.480 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181
km.
Negara Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state)
yang sudah lama diperjuangkan di forum internasional. Diawali dengan
Deklarasi Djuanda tahun 1957 lalu diikuti UU Prp No 4/1960 tentang
Perairan Indonesia; Prof Mochtar Kusumaatmadja dengan tim negosiasi
Indonesia lainnya menawarkan konsep “Negara Kepulauan” untuk dapat
diterima di Konferensi Hukum Laut Perseriktan Bangsa-Bangsa (PBB) III,
sehingga dalam The United Nations Convention on the Law of the Sea
(UNCLOS), 1982; dicantumkan Bagian IV mengenai negara kepulauan.
Konsepsi itu menyatukan wilayah kita. Di antara pulau-pulau kita tidak
ada laut bebas, karena sebagai negara kepulauan, Indonesia boleh menarik
garis pangkal (baselines-nya) dari titik-titik terluar pulau-pulau terluar (the outermost points of the outermost islands and drying reefs).
Hal itu diundangkan dengan UU No 6/1996 tentang Perairan Indonesia
untuk menggantikan UU Prp No 4/1960 sebagai implementasi UNCLOS 1982
dalam hukum nasional kita.
Menurut
UNCLOS 1982, Indonesia harus membuat peta garis batas, yang memuat
koordinat garis dasar sebagai titik ditariknya garis pangkal kepulauan
Indonesia. Walaupun telah membuat peta garis batas, timbul sengketa
Sipadan-Ligitan, dan kita tergopoh-gopoh membuat Peraturan Pemerintah No
38/2002, yang memuat titik-titik dasar termasuk di Pulau
Sipadan-Ligitan. Sayang, PP itu harus direvisi karena International Court of Justice (ICJ)
memutuskan kedua pulau itu milik Malaysia. Kini timbul masalah
perebutan daerah cadangan minyak Ambalat dan AmbalatTimur (demikian
Indonesia menyebutnya) atau blok minyak XYZ (oleh Malaysia). Kedua
Negara telah memberi konsesi eksplorasi blok itu kepada perusahaan
berbeda. Indonesia telah memberi izin kepada ENI (Italia) dan Unocal
(AS), sementara Shell mengantongi izin dari Malaysia. Maka terjadi dua
klaim saling tumpang-tindih antara kedua negara bertetangga (overlapping claim areas).
Klaim tumpang tindih (overlapping claim areas)
dari dua atau lebih negara pada dasarnya bukan hal istimewa. Hal ini
biasa terjadi di wilayah laut yang berdampingan. Hukum laut memberi hak
kepada negara pantai untuk memiliki wilayah laut sejauh 12 mil dan zona
ekonomi eksklusif serta landas kontinen sejauh 200 mil laut yang diukur
dari garis pangkalnya. Bahkan, untuk landas kontinen jaraknya bisa
sejauh 350 mil laut jika bisa dibuktikan adanya natural prolongation
(kepanjangan alamiah) dari daratan negara pantai itu. Ini menyebabkan
banyak negara berlomba mengklaim te-ritori lautnya sesuai dengan hak
yang diberikan hukum laut. Indonesia sebenarnya sudah berulang kali
mengajak Malaysia duduk di meja perundingan mengenai batas landas
kontinen, namun tak ada respons positif.
Permasalahan
batas bagi negara yang bertetangga semestinya harus dilihat dari
kacamata kerjasama antar negara, terlebih lagi bagi Indonesia;
perbatasan itu harus dilihat sebagai pengikat kerja sama dan
menjadikannnya sebagai beranda depan bangsa. Dengan dasar filosofi
seperti itu, maka sesungguhnya pengembangan wilayah perbatasan harus
dilihat dari semangat kerja sama kedua negara.
Selama
ini terdapat upaya-upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk
mengembalikan jiwa kebaharian dalam pembangunan kelautan di Indonesia.
Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Soekarno, mendeklarasikan
Wawasan Nusantara pada tanggal 13 Desember tahun 1957 yang dikenal
dengan “Deklarasi Djoeanda” yang memandang laut merupakan satu keutuhan
wilayah dengan darat, ini merupakan titik awal kebangkitan bangsa bahari
setelah kemerdekaan Indonesia. Hal ini kemudian diundangkan dengan
Undang-Undang No.4 Tahun 1960 dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah No. 8 tahun 1962.
2. Rumusan Masalah
Dengan
terbitnya UNCLOS 1982 tersebut maka membawa konsekuensi logis bagi
bangsa Indonesia yaitu adanya amanat yang harus dilaksanakan berupa
hak-hak dan kewajiban dalam pengelolaan wilayah kelautan Indonesia
berdasarkan hukum internasional. Kini UNCLOS 1982 telah berjalan selama
25 tahun, tentu sebagai Negara Kepulauan sudah saatnya melakukan
evaluasi kebijakan tentang apa saja yang telah dilaksanakan dan belum
dilaksanakan dalam rangka memenuhi amanat seperti yang telah dicantumkan
dalam UNCLOS 1982. Oleh karena itu, kami sebagai penulis makalah ini
merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep wawasan nusantara dalam Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982?
2. Bagaimana implementasi Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982 Untuk Kepentingan Nasional Indonesia?
3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis konsep wawasan nusantara dalam Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982.
2. Menganalisis implementasi Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982 untuk kepentingan Nasional Indonesia.
4. Manfaat Penulisan
Manfaat yang akan diharapkan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Secara
teoritis, diharapkan memberikan sumbangan pemikiran mengenai konsep
wawasan nusantara dalam KHL 1982, dan implementasi KHL 1982 untuk
kepentingan Nasiona Indonesia.
2. Secara
praktis, diharapkan penulisan makalah ini dapat memberikan sumbangan
terhadap permasalahan-permasalahan yang timbul dan dihadapi oleh Negara
Indonesia sebagai negara kepuluan.
5. Metode Penulisan
Data
penulisan makalah ini diperoleh dengan metode studi kepustakaan. Metode
studi kepustakaan yaitu suatu metode dengan membaca telaah pustaka
tentang hukum laut internasional. Selain itu, tim penulis juga
memperoleh data dari internet.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Teori Perjanjian Internasional
Mochtar
Kusumaatmadja, memberikan batasan perjanjian internasional sebagai
berikut: “Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan
antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk
mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu”.
Perjanjian
Internasional yang dalam bahasa Indonesia disebut juga persetujuan,
traktat, ataupun konvensi, menurut I Wayan Parthiana, adalah :
“Kata
sepakat antara dua atau lebih subyek hukum internasional mengenai suatu
objek atau masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan
hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum
internasional”.
Dalam Pasal 2 ayat 1 butir (a) Konvensi Wina 1969, perjanjian internasional (treaty) didefinisikan sebagai berikut :“treaty
means an international agreement concluded between States in written
form and governed by international law, whether embodied in a single
instrument or in two or more related instruments and whatever its
particular designation”. Artinya
: suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis,
dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau
dua atau lebih instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan
padanya.
Perjanjian
internasional merupakan sarana utama yang praktis bagi transaksi dan
komunikasi antar anggota masyarakat internasional. Fungsi lain
perjanjian internasional yaitu berfungsi sebagai sumber hukum
internasional yang oleh keluarga bangsa-bangsa telah diakui mempunyai
posisi penentu yang meningkat dengan pesat. Perjanjian internasional
juga difungsikan sebagai sarana peningkatan kerja sama internasional
secara damai telah pula menunjukkan hasil positif.
Fungsi
perjanjian internasional dalam hal pembentukan dan perkembangan hukum
internasional tersebut, dapat dikategorikan ke dalam tiga macam fungsi:
1. Merumuskan/ menyatakan (to declare) atau menguatkan kembali (confirm/restate) aturan-aturan hukum internasional yang sudah ada (the existing rules of international law);
2. merubah dan/atau menyempurnakan (modify) ataupun menghapuskan (abolish) kaidah-kaidah hukum internasional yang sudah ada, untuk mengatur tindakan-tindakan yang akan datang (for regulating future conducts);
3. membentuk kaidah-kaidah hukum internasional baru sama sekali, yang belum ada sebelumnya.
Pengelompokan perjanjian internasional ditinjau dari segi para pihak yang mengadakannya dapat kita bedakan ke dalam dua macam, yaitu:
a. Perjanjian bilateral,
yaitu perjanjian yang diadakan hanya oleh dua negara saja. perjanjian
jenis ini hanya mengatur soal-soal khusus yang menyangkut kepentingan
kedua Negara yang mengadakannya saja. Sifat dari perjanjian bilateral
ini adalah tertutup, artinya tertutup kemungkinan bagi pihak ketiga
untuk ikut serta sebagai negara pihak perjanjian bilateral itu. Seperti,
misalnya perjanjian antara Republik Indonesia dengan Republik Rakyat
China tahun 1954 mengetahu Dwi Kewarganegaraan; perjanjian bilateral
mengenai perbatasan negara dan lain sebagainya. (Termasuk Treaty Contract)
b. Perjanjian multilateral,
yaitu perjanjian yang diadakan dan diikuti oleh banyak negara sebagai
pihak peserta, yang umumnya merupakan perjanjian internasional yang
bersifat terbuka, di mana hal-hal yang diaturnya pun lazimnya berupa
hal-hal yang menyangkut kepentingan umum, yang tidak hanya menyangkut
kepentingan negara-negara pihak pembuat perjanjian saja, tetapi juga
menyangkut kepentingan negara-negara lain yang tidak menjadi peserta
perjanjian tersebut. Perjanjian internasional multilateral inilah yang
dapat dikategorikan sebagai perjanjian internasional yang bersifat “law making treaties”, atau perjanjian yang membentuk hukum (baru), yang bersama-sama dengan “treaty contract”.
2. Teori Mengenai Konvensi Hukum Laut Internasional Tahun 1982
Melalui
United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) pada tahun
1982, yang hingga kini telah diratifikasi oleh 140 negara. Negara-negara
kepulauan (Archipelagic States) memperoleh hak mengelola Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 200 mil laut di luar wilayahnya. Sebagai
negara kepulauan, Indonesia mempunyai hak mengelola (yurisdiksi)
terhadap Zona Ekonomi Eksklusif. Hal ini kemudian telah dituangkan
kedalam Undang-undang Nomor 17 tahun 1985 tentang Pengesahan United
Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut). Penetapan Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEEI) mencapai jarak 200 mil laut, diukur dari garis dasar
wilayah Indonesia ke arah laut lepas. Ketetapan tersebut kemudian
dikukuhkan melalui Undangundang Nomor 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Eklsklusif Indonesia. Konsekuensi dari implementasi undang-undang tersebut adalah bahwa luas wilayah perairan laut Indonesia bertambah sekitar 2,7 juta Km2, menjadi 5,8 juta Km2.
Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional 1982 (UNCLOS 1982) melahirkan delapan zonasi pegaturan (regime) hukum laut yaitu :
I. Perairan Pedalaman (Internal Waters).
II. Perairan Kepulauan (Archiplegic Waters), termasuk di dalamnya selat yang digunakan untuk pelayaran internasional.
III. Laut Teritorial (Teritorial Waters).
IV. Zona Tambahan ( Contingous Waters).
V. Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusif Economic Zone).
VI. Landas Kontinen (Continental Shelf).
VII. Laut Lepas (High Seas).
VIII. Kawasan Dasar Laut Internasional (International Sea-Bed Area).
Konvensi
Hukum Laut Internasional tahun 1982 mengatur pemanfaatan laut sesuai
dengan status hukum dari kedelapan zonasi pengaturan tersebut.
Negara-negara yang berbatasan dengan laut, termasuk Indonesia memiliki
kedaulatan penuh atas wilayah perairan pedalaman, perairan kepulauan dan
laut territorial, sedangkan untuk zona tambahan, zona ekonomi eksklusif
dan landas kontinen, negara memiliki hak-hak eksklusif, misalnya hak
memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di zona tersebut. Sebaliknya, laut
lepas merupakan zona yang tidak dapat dimiliki oleh negara manapun,
sedangkan kawasan dasar laut internasional dijadikan sebagai bagian
warisan umat manusia.
3. Teori Negara Kepulauan
Negara kepulauan (Archipelagic States)
adalah hasil keputusan dari Konvensi PBB mengenai Hukum Laut
Internasional (UNCLOS) 1982 yang diatur dalam Bagian IV Konvensi (Pasal
46-54) untuk negara-negara kepulauan (Archipelagic States) dan perairan negara-negara kepulauan. Menurut Pasal 46 (b) Konvensi Hukum Laut Internasional, “archipelago
means a group of islands, including parts of islands, interconnecting
waters and other natural features which are so closely interrelated that
such islands, waters and other natural features form an intrinsic
geographical, economic and political entity, or which historically have
been regarded as such.” (Terjemahannya: kepuluan berarti suatu
gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan di antara pulau-pulau
tersebut dan wujud-wujud alamiah lainnya yang wujud alamiahnya satu sama
lain demikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah
lainnya itu merupakan satu kesatuan geografis, ekonomi dan politik yang
hakiki, atau yang secara historis dianggap sebagai demikian). Jadi, Menurut Pasal 46 (b), “Archipelagic State means a State constituted wholly by one or more archipelagos and may include other islands”.
Metode
garis pangkal lurus dipakai sebagai solusi untuk masalah perairan
kepulauan yang dimuat dalam Pasal 47 dan 49 Konvensi Hukum Laut
Internasional. Suatu negara kepulauan yang menarik garis pangkal lurus
kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pulau dan karang kering
dari kepulauan itu, dengan akibat bahwa kedaulatan negara kepulauan
meluas hingga yang tertutup karena penarikan garis pangkal lurus
demikian, samapai ke ruang udara yang ada di atasnya, dasar laut dan
tanah dibawahnya serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Dalam
Pasal 51-54 ditentukan mengenai dihormatinya oleh negara kepulauan
perjanjian-perjanjian yang ada, hak-hak perikanan tradisional dan
kabel-kabel bawah laut, mengenai hak lintas damai, mengenai
penetapan-penetapan secara tepat alur-alur laut dan rute-rute udara oleh
negara kepulaua, dan mengenai kewajiban-kewajiban yang sama yang harus
diperhatikan oleh kapal dan pesawat udara asing, dan oleh negara
kepulauan, sebagaimana yang secara mutatis mutandis
dalam hal lintas transit melalui selat-selat yang digunakan untuk
pelayaran internasional menurut ketentuan Pasal 39, 40, 42 dan 44.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Konsep Wawasan Nusantara Dalam Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982
Secara
umum wawasan nasional berarti cara pandang suatu bangsa tentang diri
dan lingkungannya yang dijabarkan dari dasar falsafah dan sejarah bangsa
itu sesuai dengan posisi dan kondisi geografi negaranya untuk mencapai
tujuan atau cita-cita nasionalnya.
Wawasan
nusantara mempunyai arti cara pandang bangsa Indonesia tentang diri
dan lingkungannya berdasarkan pancasila dan UUD 1945 serta sesuai dengan
geografi wilayah nusantara yang menjiwai kehidupan bangsa dalam
mencapai tujuan dan cita-cita nasionalnya.
Indonesia
yang merupakan Negara Kepulauan yang diperjuangkan oleh Mochtar
Kusumaatmadja dari sejak Deklarasi Juanda 1957 sampai diakuinya konsepsi
tersebut oleh dunia internasional dalam Konvensi Hukum Laut 1982 adalah
sebenarnya suatu kebanggaan yang luar biasa bagi bangsa dan Negara
Indonesia, tetapi sebagian masyarakat Indonesia tidak begitu mengenal
dengan baik bahwa Indonesia mempunyai luas laut dua per tiga dari luar
daratan dan pemerintah juga tidak begitu perduli melakukan
pembangunan yang berorientasi ke laut, tetapi masih terfokus pada
paradigma pembangunan di darat. Padahal pembangunan yang dicanangkan
oleh para pendahulu itu sudah termaktub dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis- Garis Besar
Haluan Negara dalam Bab II mengenai Pola Dasar Pembangunan Nasional
menegaskan bahwa “wawasan dalam mencapai tujuan pembangunan nasional adalah Wawasan Nusantara yang mencakup satu kesatuan politik, satu kesatuan sosial budaya, satu kesatuan ekonomi, dan satu kesatuan pertahanan dan keamanan”.
Dengan di tetapkannya Wawasan Nusantara sebagai konsepsi kesatuan
wilayah, bangsa, dan negara yang memandang Indonesia sebagai suatu
kesatuan yang meliputi tanah (darat) dan air (laut) secara tidak
terpisahkan merupakan tahapan akhir dari perjuangan konsepsi Wawasan
Nusantara yang dimulai sejak Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember
1957.
Wawasan Nusantara yang dalam status juridisnya adalah negara kepulauan (archipelagic states)
sudah diakui oleh masyarakat internasional dengan adanya Konvensi Hukum
Laut 1982 yang diatur dalam Bab IV Pasal 46 yang berbunyi sebagai
berikut :
a. “archipelagic State” means a State constituted wholly by one or more archipelagos and may include other islands;
b. “archipelago”
means a group of islands, including parts of islands, interconnecting
waters and other natural features which are so closely interrelated that
such islands, waters and other natural features form an intrinsic
geographical, economic and political entity, or which historically have
been regarded as such.
Negara
kepulauan adalah suatu Negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau
lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Kepulauan berarti
suatu gugusan pulau termasuk bagian pulau, perairan di antaranya dan
lain-lain wujud ilmiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian erat,
sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan
suatu kesatuan geografi, ekonomi, dan politik yang hakiki atau yang
secara histories dianggap sebagai demikian.
Pengakuan
internasional terhadap Konsepsi Wawasan Nusantara melalui
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Konvensi Hukum Laut 1982, memang
merupakan kulminasi perjuangan Indonesia yang gigih dan terus menerus
selama 25 tahun semenjak Deklarasi Djuanda 1957. Namun, dalam perjuangan
yang panjang tersebut dan sebagai anggota masyarakat internasional,
hasil yang telah dicapai juga merupakan kompromi antara kepentingan
negara-negara maritim besar dan negara0negara kepulauan. Indonesia
berhasil mendapatkan pengakuan internasional tentang garis pangkal lurus
kepulauan yang merupakan suatu konsepsi baru dalam hukum laut
internasional walaupun derajat kedaulatan negara pantai atas perairan
kepulauan sebagai hasil dari kompromi tersebut tidak setinggi pada
perairan pedalaman sesuai Deklarasi Djuanda.
Pada
hakikatnya lintas damai kendaraan air asing dalam perairan pedalaman
berdasarakan Deklarasi Djuanda adalah hak yang diberikan Indonesia
karena menurut hukum laut internasional hak tersebut tidak ada dalam
perairan pedalaman. Sedangkan menurut konvensi selain hak lintas damai
ditentukan pula hak alur kepulauan.
Sehubungan
dengan itu, untuk melindungi kepentingan Indonesia selanjutnya dengan
adanya hak lintas alur laut kepulauan di perairan Indonesia maka perlu
dibuat legislasi yang mengatur secara ketat penggunaan hak lintas ini
sehingga maksud dan tujuan seperti yang dimaksud oleh Deklarasi Djuanda
tetap dapat dipertahankan.
B. Impelementasi Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982
Setelah
Indonesia menandatangani Konvensi Hukum Laut 1982 yang kemudian diikuti
dengan ratifikasinya pada tahun 1985, maka pada tahun 1996 keluar
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Hal ini
merupakan langkah awal yang diambil oleh Indonesia sebagai tindak lanjut
dari Konvensi. Tindakan-tindakan implementasi Konvensi Hukum laut 1982
yang telah dilakukan pemerintah Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Di Bidang Penentuan Garis Pangkal
Menurut
Pasal 5 ayat (3) UU No. 6 Tahun 1996, garis pangkal lurus kepulauan
adalah garis-garis lurus menghubungkan titik-titik terluar pada garis
air rendah pulau-pulau dan karang-karang yang terluar dari kepulauan
Indonesia. Di samping itu, sesuai Pasal 5 ayat (7), juga ada garis
pangkal pantai yang menjorok jauh dan menikung ke daratan atau deretan
pulaua yang terdapat di dekata sepanjang pantai.
Sesuai
UU No. 4 Tahun 1960 dan sebagai implementasi Deklarasi Djuanda,
Indonesia menatapkan sebanyak 200 titik terluar dengan 196 garis lurus.
Tentu saja titik terluar dan garis-garis pangkal tersebut yang belum
mendapat pengakuan Internasional disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan
Konvensi agar terdapatnya jaminan hukum. Selanjutnya, dalam Pasal 6 UU
No. 6 Tahun 1996 haruslah dibuat daftar titik-titik terluar dan
garis-garis pangkal tersebut serta mencantumkannya dalam peta dengan
skala-skala yang memadai dan mendepositkannya pada Sekretariat Jenderal
PBB. Pada hakikatnya penyesuaian garis pangkal sudah dilakukan secara
bertahap. Untuk perairan Natuna, pemerintah RI telah mengeluarkan PP No
61 Tahun 1998 yang menetapkan garis-garis pangkal baru. Secara teknis,
pemerintah telah melakukan survei guna menetapkan titik-titik dasar
baru, tetapi belum dituangkan dalam Peraturan Pemerintah. Sebagai tindak
lanjut, pemerintah mengeluarkan PP No. 38 tahun 2002 tentang Daftar
Koordinat Geografis Garis Pangkal Lurus Kepulauan.
Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia
Berdasarkan
PP No. 38 Tahun 2002
Sebagaimana Telah Diubah Dengan
No
|
Lintang Bujur
|
Jenis Garis Pangkal, Jarak
|
Nomor Peta,
Skala, Referensi
|
1
|
|
Tg. Berakit
Titik Dasar No. TD.001
Pilar Pendekat No. TR.001
Jarak TD.001-TD.001A = 19.19 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 431
1 : 200.000
WGS'84
|
2
|
|
P. Sentut
Titik Dasar No. TD.001A
Pilar Pendekat No. TR.001A
Jarak TD.001A-TD.022 = 88.06M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 430, 431
1 : 200.000
WGS'84
|
3
|
|
P.Tokong Malang Biru
Titik Dasar No. TD.022
Pilar Pendekat No. TR.022
Jarak TD.022-TD.023 = 29.50 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 430
1 : 200.000
WGS'84
|
4
|
|
P. Damar
Titik Dasar No. TD.023
Pilar Pendekat No. TR.023
Jarak TD.023-TD.024 = 24.34 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 423
1 : 200.000
WGS'84
|
5
|
|
P. Mangkai
Titik Dasar No. TD.024
Pilar Pendekat No. TR.024
Jarak TD.024-TD.025 = 26.28 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 423
1 : 200.000
WGS'84
|
6
|
|
P. Tokong Nanas
Titik Dasar No. TD.025
Pilar Pendekat No. TR.025
Jarak TD.025-TD.026 = 20.35 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 423
1 : 200.000
WGS'84
|
7
|
|
P. Tokongbelayar
Titik Dasar No. TD.026
Pilar Pendekat No. TR.026
Jarak TD.026-TD.028 = 79.03 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 423
1 : 200.000
WGS'84
|
8
|
|
P. Tokongboro
Titik Dasar No. TD.028
Pilar Pendekat No. TR.028
Jarak TD.028-TD.029 = 32.06 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 422
1 : 200.000
WGS'84
|
9
|
|
P. Semiun
Titik Dasar No. TD.029
Pilar Pendekat No. TR.029
Jarak TD.029-TD.030A = 15.76 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 421, 422
1 : 200.000
WGS'84
|
10
|
|
P. Sebetul
Titik Dasar No. TD.030A
Pilar Pendekat No. TR.030A
Jarak TD.030A-TD.030B = 8.18 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 421
1 : 200.000
WGS'84
|
11
|
|
P. Sekatung
Titik Dasar No. TD.030B
Pilar Pendekat No. TR.030A
Between TD.030B-TD.030D
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 421
1 : 200.000
WGS'84
|
12
|
|
P. Sekatung
Titik Dasar No. TD.030D
Pilar Pendekat No. TR.030
Jarak TD.030D-TD.031 = 52.58 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 421
1 : 200.000
WGS'84
|
13
|
|
P. Senua
Titik Dasar No. TD.031
Pilar Pendekat No. TR.031
Jarak TD.031-TD.032 = 66.03 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 421
1 : 200.000
WGS'84
|
14
|
|
P. Subi Kecil
Titik Dasar No. TD.032
Pilar Pendekat No. TR.032
Jarak TD.032-TD.033 = 27.67 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 420
1 : 200.000
WGS'84
|
15
|
|
P. Kepala
Titik Dasar No. TD.033
Pilar Pendekat No. TR.033
Jarak TD.033-TD.035 = 44.10 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 420
1 : 200.000
WGS'84
|
16
|
|
Tg. Datu
Titik Dasar No. TD.035
Pilar Pendekat No. TR.035
Antara TD.035 -TD.036C
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 420
1 : 200.000
WGS'84
|
17
|
|
P. Sebatik
Titik Dasar No. TD.036
Pilar Pendekat No. TR.036
Jarak TD.036-TD.036A = 1.27 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 489 dan 59
1 : 200.000
WGS'84
|
18
|
|
P. Sebatik
Titik Dasar No. TD.036A
Pilar Pendekat No. TR.036
Jarak TD.036A-TD.036B = 0.82 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 489 dan 59
1 : 200.000
WGS'84
|
19
|
|
P. Sebatik
Titik Dasar No. TD.036B
Pilar Pendekat No. TR.036
Jarak TD.036B-TD.037 = 12.22 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 489 dan 59
1 : 200.000
WGS'84
|
20
|
|
Karang Unarang
Titik Dasar No. TD.037
Pilar Pendekat No. TR.036
Jarak TD.037-TD.039 = 110.27M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 489 dan 59
1 : 200.000
WGS'84
|
21
|
|
P. Maratua
Titik Dasar No. TD.039
Pilar Pendekat No. TR.039
Jarak TD.039-TD.040 = 36.95 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 488
1 : 200.000
WGS'84
|
22
|
|
P. Sambit
Titik Dasar No. TD.040
Pilar Pendekat No. TR.040
Jarak TD.040-TD.043 = 84.61 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 488
1 : 200.000
WGS'84
|
23
|
|
P. Lingian
Titik Dasar No. TD.043
Pilar Pendekat No. TR.043
Jarak TD.043-TD.044 = 40.21 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 487
1 : 200.000
WGS'84
|
24
|
|
P. Salando
Titik Dasar No. TD.044
Pilar Pendekat No. TR.044
Jarak TD.044-TD.044A = 6.05 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 487
1 : 200.000
WGS'84
|
25
|
|
P. Dolangan
Titik Dasar No. TD.044A
Pilar Pendekat No. TR.044A
Antara TD.044A-TD.044B
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 486, 487
1 : 200.000
WGS'84
|
26
|
|
P. Dolangan
Titik Dasar No. TD.044B
Pilar Pendekat No. TR.044A
Jarak TD.044B-TD.045 = 33.70 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 486, 487
1 : 200.000
WGS'84
|
27
|
|
Tg. Kramat
Titik Dasar No. TD.045
Pilar Pendekat No. TR.045
Jarak TD.045-TD.046A = 60.10 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 486
1 : 200.000
WGS'84
|
28
|
|
Kr. Boliogut
Titik Dasar No. TD.046A
Pilar Pendekat No. TR.046A
Jarak TD.046A-TD.047 = 41.32 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 486
1 : 200.000
WGS'84
|
29
|
|
P. Bangkit
Titik Dasar No. TD.047
Pilar Pendekat No. TR.047
Jarak TD.047-TD.048 = 74.17 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 485
1 : 200.000
WGS'84
|
30
|
|
Tg. Laimpangi
Titik Dasar No. TD.048
Pilar Pendekat No. TR.048
Jarak TD.048-TD.049A = 43.09 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 485
1 : 200.000
WGS'84
|
31
|
|
P. Manterawu
Titik Dasar No. TD.049A
Pilar Pendekat No. TR.049A
Jarak TD.049A-TD.051A = 63.82 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 484
1 : 200.000
WGS'84
|
32
|
|
P. Makalehi
Titik Dasar No. TD.051A
Pilar Pendekat No. TR.051
Jarak TD.051A-TD.053A = 90.35 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 484
1 : 200.000
WGS'84
|
33
|
|
P. Kawalusu
Titik Dasar No. TD.053A
Pilar Pendekat No. TR.053
Jarak TD.053A-TD.054 = 27.01 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 483
1 : 200.000
WGS'84
|
34
|
|
P. Kawio
Base Point No. TD.054
Pilar Pendekat No.TR.054
Jarak TD.054-TD.055 = 4.98 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 482
1 : 200.000
WGS'84
|
35
|
|
P. Marore
Titik Dasar No. TD.055
Pilar Pendekat No.TR.055
Antara TD. 055-TD.055A
Garis Pangkal Normal
|
No. 482
1 : 200.000
WGS'84
|
36
|
|
P. Marore
Titik Dasar No. TD.055A
Pilar Pendekat No.TR.055
Jarak TD.055A-TD.055B = 0.58 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 482
1 : 200.000
WGS'84
|
37
|
|
P. Batubawaikang
Titik Dasar No. TD.055B
Pilar Pendekat No.TR.055
Jarak TD.055B-TD.056 = 81.75 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 482
1 : 200.000
WGS'84
|
38
|
|
P. Miangas
Titik Dasar No. TD.056
Pilar Pendekat No.TR.056
Antara TD.056-TD.056A
Garis Pangkal Normal
|
No. 481,482
1 : 200.000
WGS'84
|
39
|
|
P. Miangas
Titik Dasar No. TD.056A
Pilar Pendekat No.TR.056
Jarak TD.056A-TD.057A=57.91 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 481, 482
1 : 200.000
WGS'84
|
40
|
|
P. Marampit
Titik Dasar No. TD.057A
Pilar Pendekat No.TR.057
Antara TD.057A-TD.057
Garis Pangkal Normal
|
No. 481
1 : 200.000
WGS'84
|
41
|
|
P. Marampit
Titik Dasar No. TD.057
Pilar Pendekat No.TR.057
Jarak TD.057-TD.058A = 7.10 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 481
1 : 200.000
WGS'84
|
42
|
|
P. Intata
Titik Dasar No. TD.058A
Pilar Pendekat No.TR.058A
AntaraTD.058A-TD.058
Garis Pangkal Normal
|
No. 481
1 : 200.000
WGS'84
|
43
|
|
P. Kakarutan
Titik Dasar No. TD.058
Pilar Pendekat No.TR.058
Jarak TD.058-TD.059 = 55.63 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 481
1 : 200.000
WGS'84
|
44
|
|
Tg. Tampida
Titik Dasar No. TD.059
Pilar Pendekat No.TR.059
Jarak TD.059-TD.060 = 122.75 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 480
1 : 200.000
WGS'84
|
45
|
|
Tg. Sopi
Titik Dasar No. TD.060
Pilar Pendekat No.TR.060
Antara TD.060-TD.061A
Garis Pangkal Normal
|
No. 479
1 : 200.000
WGS'84
|
46
|
|
Tg. Gorua
Titik Dasar No. TD.061A
Pilar Pendekat No.TR.061
Jarak TD.061A-TD.062 = 50.97 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 482
1 : 200.000
WGS'84
|
47
|
|
Tg. Lelai
Titik Dasar No. TD.062
Pilar Pendekat No.TR.062
Jarak TD.062-TD.063 = 56.55 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 479
1 : 200.000
WGS'84
|
48
|
|
P. Jiew
Titik Dasar No. TD.063
Pilar Pendekat No.TR.063
Jarak TD.063-TD.065 = 96.05 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 478
1 : 200.000
WGS'84
|
49
|
|
P. Budd
Titik Dasar No. TD.065
Pilar Pendekat No.TR.065
Jarak TD.065-TD.066= 45.91 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 477
1 : 200.000
WGS'84
|
50
|
|
P. Fani
Titik Dasar No. TD.066
Pilar Pendekat No.TR.066
Antara TD.066-TD.066A
Garis Pangkal Normal
|
No. 477
1 : 200.000
WGS'84
|
51
|
|
P. Fani
Titik Dasar No. TD.066A
Pilar Pendekat No.TR.066
Jarak TD.066A-TD.070 = 99.81 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 477
1 : 200.000
WGS'84
|
52
|
|
P. Miossu
Titik Dasar No. TD.070
Pilar Pendekat No.TR.070
Jarak TD.070-TD.070A = 15.77 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 476
1 : 200.000
WGS'84
|
53
|
|
Tg. Yamursba
Titik Dasar No. TD.070A
Pilar Pendekat No.TR.070A
Jarak TD.070A-TD.071 = 17.72 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 476
1 : 200.000
WGS'84
|
54
|
|
Tg. Wasio
Titik Dasar No. TD.071
Pilar Pendekat No.TR.071
Jarak TD.071-TD.072 = 122.74 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 476
1 : 200.000
WGS'84
|
55
|
|
P. Fanildo
Titik Dasar No. TD.072
Pilar Pendekat No.TR.072
Antara TD.072-TD.072A
Garis Pangkal Normal
|
No. 475
1 : 200.000
WGS'84
|
56
|
|
P. Bras
Titik Dasar No. TD.072A
Pilar Pendekat No. TR.072
Jarak TD.072A-TD.074 = 97.28 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 475
1 : 200.000
WGS'84
|
57
|
|
P. Bepondi
Titik Dasar No. TD.074
Pilar Pendekat No. TR.074
Jarak TD.074-TD.076B = 39.41 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 474
1 : 200.000
WGS'84
|
58
|
|
Tg. Wasanbari
Titik Dasar No. TD.076B
Pilar Pendekat No. TR.077
Jarak TD.076B-TD.077 = 38.90 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 474
1 : 200.000
WGS'84
|
59
|
|
Tg. Basari
Titik Dasar No. TD.077
Pilar Pendekat No. TR.077
Jarak TD. 077 -TD.078 = 95.45 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 473
1 : 200.000
WGS'84
|
60
|
|
Tg. Narwaku
Titik Dasar No. TD.078
Pilar Pendekat No. TR.078
Jarak TD.078-TD.079 = 47.61 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 472
1 : 200.000
WGS'84
|
61
|
|
P. Liki
Titik Dasar No. TD.079
Pilar Pendekat No. TR.079
Jarak TD.079-TD.080 = 97.06 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 472
1 : 200.000
WGS'84
|
62
|
|
Tg. Kamdara
Titik Dasar No. TD.080
Pilar Pendekat No. TR.080
Jarak TD.080-TD.080A = 28.56 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 471
1 : 200.000
WGS'84
|
63
|
|
Tg. Kelapa
Titik Dasar No. TD.080A
Pilar Pendekat No. TR.080A
Jarak TD.080A-TD.081 = 25.22 M
Garis Pangkal Lurus Kepulauan Nusantara
|
No. 471
1 : 200.000
WGS'84
|
64
|
|
Tg. Oinake
Titik Dasar No. TD.081
Pilar Pendekat No. TR.081
Antara TD.081-TD.082
Irian Jaya
|
No. 471
1 : 200.000
WGS'84
|
2. Mengenai Hak Lintas Damai
Pasal 17-19 Konvensi Hukum Laut 1982 menjelaskan hak lintas damai (right of innocent passage). Pasal 17 Konvensi mengatur bahwa kapal dari semua Negara baik Negara pantai maupun Negara tidak berpantai mempunyai hak lintas damai melalui laut territorial. Pasal 18 Konvensi memberikan pengertian lintas (passage), yaitu berlayar atau navigasi melalui laut territorial untuk tujuan melintasi laut tanpa memasuki perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut (roadsteads) atau fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman atau berlalu ke atau dari perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut atau fasilitas pelabuhan tersebut. Lintas harus terus menerus, langsung terus menerus dan secepat mungkin (continuous and expeditious), dan lintas mencakup berhenti dan buang jangkar secara normal atau karena force majeur. Pasal 19 Konvensi menyebutkan bahwa lintas adalah damai selama tidak menggangu kedamaian, ketertiban atau keamanan
Konvensi
1982 yang berisikan ketentuan-ketentuan mengenai hak lintas damai telah
dituangkan ke dalam UU No. 6 Tahun 1996 yang diatur dalam Bab III Pasal
11-17.
Ketentuan-ketentuan dalam Pasal 21 Konvensi KHL 1982 bertujuan untuk
mengatur keselamatan pelayaran, pelestarian kekayaan hayati laut,
pemeliharaan lingkungan dan pencegahan polusi, penyidikan ilmiah dan
pencegahan terhadap pelanggaran-pelanggaran aturan kepabeanan, keuangan,
imigrasi, dll. Pemerintah juga telah mengeluarkan PP No. 36 Tahun 2002
yang mengatur hak lintas damai di perairan Indonesia.
3. Menganai Hak Lintas Transit
Hak lintas transit (right of transit passage) diatur oleh Pasal 37-44 Konvensi Hukum Laut 1982. Pasal 37 menyatakan bahwa lintas transit (transit passage) berlaku pada selatselat yang digunakan untuk pelayaran internasional antara satu bagian laut lepas (high seas)
atau zona ekonomi eksklusif dan bagian laut lepas atau zona ekonomi
eksklusif lainnya, sedangkan hak lintas transit itu sendiri terdapat
dalam Pasal 38 Konvensi yang mengatakan bahwa semua kapal (ships) dan pesawat udara (aircraft) mempunyai haklintas transit yang tidak boleh dihalangi. Lintas transit berarti pelaksanaan kebebasan pelayaran (freedom of navigation) dan penerbangan (overflight)
semata-mata untuk tujuan transit terus-menerus langsung dan secepat
mungkin antara satu bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dan
bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif lainnya.
Pengaturan
hak lintas damai bagi kapal asing telah diatur dalam UU No. 6 Tahun
1996 yang diatur dalam Bab III Pasal 20 dan 21 mengenai hak lintas
transit mengizinkan negara-negara yang dipisahkan selat untuk membuat
peraturan perundang-undangan mengenai lintas transit melalui selat-selat
berkaitan dengan keselamatan pelayaran, pencegahan polusi, pengaturan
penangkapan ikan, dll.
4. Penentuan Batas Perairan Pedalaman
Pasal 8 Konvensi Hukum Laut 1982 menyatakan bahwa : “… waters on the landward side of the baseline of the territorial sea form part of the internal waters of the State”, yaitu bahwa perairan pedalaman adalah perairan pada sisi darat garis pangkal laut territorial merupakan bagian perairan pedalaman negara tersebut.
Perairan
pedalaman Indonesia adalah sepenuhnya berada di bawah kedaulatan Negara
Indonesia, sampai saat ini Indonesia belum menetapkan wilayah perairan
pedalaman, dengan identifikasinya. Selain itu di perairan pedalaman
tersebut terdapat pelabuhan tempat bongkar muat barang ekspor-impor dari
dan ke Indonesia. Dalam konteks pembangunanekonomi nasional Indonesia,
pelabuhan-pelabuhan yang ada di Indonesia sudah seharusnya mempunyai
standar internasional dan mampu bersaing secara global dengan
pelabuhanpelabuhan luar negeri. Indonesia wajib memberikan keamanan dan
keselamatan pelayaran internasional sejalan dengan International Ship and Port Facility Security (ISPS) Code yang diadopsi oleh International Maritime Organization (IMO)
tanggal 12 Desember 2002. Di samping itu, perairan pedalaman Indonesia
sering dijadikan tempat pembuangan limbah sehingga perairan pedalaman di
beberapa tempat di Indonesia sering tampak kotor, dan mungkin terjadi
pencemaran lingkungan laut dan perusakan habitatnya. Apabila pemerintah
membiarkan keadaan tersebut di perairan pedalaman, maka dapat dianggap
telah melanggar kewajiban negara untuk melindungi dan melestarikan
lingkungan laut sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 192 Konvensi Hukum
Laut 1982 yang berbunyi : “States have the obligation to protect and preserve the marine environment”.
Kewajiban Indonesia di perairan pedalaman adalah untuk kepentingan
Indonesia, yaitu berupa kewajiban menjaga dan melestarikan lingkungan
hidup secara keseluruhan, walapun dalam konteks lingkungan laut sudah
ada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Laut yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Indonesia
yang memiliki laut sangat luas itu tampaknya tidak diimbangi dengan
kesungguhan menjaga dan memanfaatkannya, sehingga di perairan pedalaman
saja terjadi penangkapan ikan ilegal, pencemaran laut, dan perusakan
terumbu karang yang dapat merugikan masyarakat luas dan laut sendiri.
Oleh karena itu Indonesia perlu menetapkan batas wilayah perairan
pedalaman di dalam perairan nusantara (penetapan closing lines), serta
peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh setiap sektor harus
dilaksanakan dengan koordinasi baik, sehingga laut di perairan pedalaman
tidak rusak, apalagi pada era otonomi daerah sekarang ini jangan sampai
menambah kerusakan wilayah laut.
5. Zona Ekslusif Ekonomi
Indonesia
mempunyai hak-hak, jurisdiksi, dan kewajiban di zona ekonomi eksklusif
karena sudah terikat oleh Konvensi Hukum Laut 1985 dengan UU No.
17/1985. Hak-hak, jurisdiksi, dan kewajiban Indonesia pada Konvensi
tersebut sudah ditentukan oleh Pasal 56 yang berbunyi sebagai berikut :
1. In the exclusive economic zone, the coastal State has:
a. sovereign
rights for the purpose of exploring and exploiting, conserving and
managing the natural resources, whether living or non-living, of the
waters superjacent to the seabed and of the seabed and its subsoil, and
with regard to other activities for the economic exploitation and
exploration of the zone, such as the production of energy from the
water, currents and winds;
b. jurisdiction as provided for in the relevant provisions of this Convention with regard to:
i. the establishment and use of artificial islands, installations and structures;
ii. marine scientific research;
iii. the protection and preservation of the marine environment;
2. In
exercising its rights and performing its duties under this Convention
in the exclusive economic zone, the coastal State shall have due regard
to the rights and duties of other States and shall act in a manner
compatible with the provisions of this Convention.
Di
zona ekonomi eksklusif setiap Negara pantai seperti Indonesia ini
mempunyai hak berdaulat untuk tujuan eksplorasi, eksploitasi,
konservasi, dan mengelola sumber daya alam baik hayati maupun nonhayati
di perairannya, dasar laut dan tanah di bawahnya serta untuk keperluan
ekonomi di zona tersebut seperti produksi energi dari air, arus, dan
angin. Sedangkan jurisdiksi Indonesia di zona itu adalah jurisdiksi
membuat dan menggunakan pulau buatan, instalasi, dan bangunan, riset
ilmiah kelautan, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Dalam
melaksanakan hak berdaulat dan jurisdiksinya di zona ekonomi eksklusif
itu, Indonesia harus memperhatikan hak dan kewajiban Negara lain.
Indonesia
sudah dilengkapi dengan UU No. 5 Tahun 1983 dan PP No. 15 Tahun 1984
tentang Pengelolaan Sumber Hayati Laut di ZEE Indonesia. Sehubungan
dengan zona ini banyak kegiatan tindak lanjut yang harus dilakukan
Indonesia seperti penetapan batas terluar ZEE Indonesia dan menyimpankan
copy peta-peta atau daftar koordinat-koordinatnya kepada Sekretariat
Jenderal PBB. Sesuai Pasal 62 Konvensi 1982, Indonesia harus
memberitahukan mengenai pembangunan dan letak pulau-pulau buatan,
instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan lainnya di ZEE.
Menurut
Pasal 13 Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia yang menyatakan bahwa “dalam rangka melaksanakan hak berdaulat
dan jurisdiksinya itu, aparatur penegak hukum dapat mengambil tindakan
penegakan hukum sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana”. Oleh karena itu, untuk menjaga
dan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam di ZEE Indonesia itu,
Indonesia harus mempunyai kekuatan armada laut yang dapat diandalkan,
sehingga kekayaan di zona itu tidak diambil oleh kapal-kapal asing.
6. Landas Kontinen
Indonesia
mempunyak hak eksplorasi dan eksploitasi kekayaan sumber daya alam di
landas kontinen sebagaimana diatur oleh Pasal 77 Konvensi Hukum Laut
1982, tetapi di samping itu Indonesia mempunyai kewajiban untuk
menetapkan batas terluar landas kontinen sejauh 350 mil dan menyampaikan
kepada Komisi Landas Kontinen (Commission on the Limits of the Continental Shelf) yang selanjutnya diatur oleh Lampiran (Annex)
II Konvensi Hukum Laut 1982. Penentapan batas-batas landas kontinen
baik sejauh 200 mil maupun 350 mil tersebut wajib disampaikan salinannya
kepada Sekretaris Jenderal PBB yang di dalamnya memuat informasi yang
relevan seperti data geodetik dan peta-peta lainnya. Indonesia juga
harus melakukan negosiasi penetapan batas-batas landas kontinen dengan
negara tetangga dan jangan sampai terulang kasus Sipadan-Ligitan yang
semula tentang perundingan batas-batas landas kontinen antara Indonesia
dan Malaysia tersebut.
Indonesia
sudah mempunyai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas
Kontinen yang masih mengacu pada Konvensi Jenewa 1958 yang sudah barang
tentu sudah tidak relevan lagi, Landas kontinen menurut Pasal Undang-
Undang No. 1 Tahun 1973 tersebut adalah sampai kedalaman 200 meter yang
berarti tidak sesuai dengan Pasal 76 Konvensi Hukum Laut 1982. Oleh
karena itu, Undang-Undang No. 1 Tahun 1973 harus diamandemen dengan
sesuai dengan materi muatan Konvensi Hukum Laut 1982, dan mengumumkan
dan mendepositkan batas landas kontinen tersebut pada sekjen PBB pada
tahun 2009.
7. Penetapan Alur Laut Kepulauan Indonesia
Negara
pantai dengan memperhatikan keselamatan pelayaran dapat mewajibkan
kapal asing melaksanakan hak lintas damai melalui laut territorial
dengan menggunakanalur laut (sea lanes) dan skema pemisah lalu lintas (traffic separation schemes)
sebagaimana diatur oleh Pasal 22 Konvensi Hukum Laut 1982. Demikian
juga pelayaran dengan menggunakan hak lintas transit karena ketentuan
Pasal 41 Konvensi Hukum Laut 1982 yang mengatur alur laut dan skema
pemisah lintas transit, yaitu bahwa negara-negara yang berbatasan dengan
selat (states bordering straits) dapat menentukan alur laut (sea lanes) dan skema pemisah pelayaran di selat-selat apabila diperlukan untuk meningkatkan lintas transit yang aman sesuai dengan peraturan internasional yang dibuat oleh organisasi internasional yang berkompeten, yaitu dalam hal ini IMO (Internattional Maritime Organizations).
Indonesia
telah memilki UU No. 6 Tahun 1996 yang juga berisikan ketentuan
penetapan lintas alur laut kepulaun seperti yang terdapat dalam Pasal 18
dan 19. Pada tahun 1996 Indonesia telah mengusulkan kepada IMO
penetapan tiga ALKI beserta cabang-cabangnya di perairan Indonesia.
Menurut
kesepakatan dengan IMO, ALKI-ALKI itu akan mulai berlaku minimum enam
bulan sejak diundangkannnya oleh Indonesia. Pemerintah mengeluarkan PP
No. 37 Tahun 2002 tentang 3 alur laut kepulauan di perairan kepulauan
Indonesia.
8. Pertambangan Dasar Laut
Kawasan
dasar laut dan tanah di bawahnya yang diatur oleh Bab XI Konvensi Hukum
Laut 1982 tersebut tunduk pada rejim internasional, yaitu common heritage of mankind,
yaitu warisan bersama umat manusia. Di Kawasan tidak boleh ada negara
yang mengklaim kedaulatan karena semua kekayaannya hanya untuk
kepentingan seluruh umat manusia yang dikelola oleh suatu badan
internasional, yaitu Badan Otorita Dasar Laut Internasional (International Sea-Bed Authority-ISBA),
sehingga pertambangan di Kawasan terutama yang dilakukan oleh
negara-negara maju yang mempunyai teknologi dan sumber daya manusia
harus berdasarkan persetujuan ISBA.
Kawasan
yang berada di luar jurisdiksi nasional dan berada di bawah pengelolaan
Badan Otorita Dasar Laut Internasional atau ISBA itu mempunyai status common heritage of mankind,
yaitu semua kekayaan di Kawasan adalah warisan bersama umat manusia.
Oleh karena itu tidak ada kewajiban khusus yang dimiliki oleh setiap
Negara termasuk Indonesia. Kewajiban Indonesia adalah berpartisipasi
dalam eksplorasi dan eksploitasi bekerja sama dengan Negara, organisasi
internasional, atau perusahaan dalam negeri atau asing.
Indonesia
seharusnya konsentrasi menjaga dan memanfaatkan kekayaan sumber daya
alam di laut baik hayati maupun nonhayati yang berada di bawah
kedaulatan dan jurisdiksi Indonesia, seperti di perairan kepulauan, laut
territorial, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen. Pemerintah
Indonesia harus aktif mengikuti sidang ISBA yang dilakukan setiap tahun,
untuk mengikuti perkembangan-perkembangan mengenai potensi pertambangan
di dasar laut.
PENUTUP
Indonesia
merupakan negara kepulauan. Oleh karena itu, Indonesia ikut dalam
merumuskan materi dari UNCLOS 1982. Ketentuan tentang negara kepulauan
mempunyai hubungan substansial dengan Deklarasi Djoeanda yang dicetuskan
pada tahun 1957.
Wawasan Nusantara yang dalam status juridisnya adalah negara kepulauan (archipelagic states)
sudah diakui oleh masyarakat internasional dengan adanya Konvensi Hukum
Laut 1982 yang diatur dalam Bab IV Pasal 46. Negara kepulauan adalah
suatu Negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan
dapat mencakup pulau-pulau lain. Kepulauan berarti suatu gugusan pulau
termasuk bagian pulau, perairan di antaranya dan lain-lain wujud ilmiah
yang hubungannya satu sama lainnya demikian erat, sehingga pulau-pulau,
perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan suatu kesatuan
geografi, ekonomi, dan politik yang hakiki atau yang secara histories
dianggap sebagai demikian.
Sebagai
negara yang menandatangani dan kemudian telah meratifikasinya menjadi
bagian dari tataran hukum nasionalnya, maka Indonesia tentunya harus
taat azas dengan berbagai ketentuan hukum laut internasional dari UNCLOS
1982, termasuk tentang hak dan kewajiban.
Daftar Pustaka
Buku:
Kusumaatmadja, Mochtar., Hukum Laut Internasional, Binacipta, Bandung, 1978
Kusumaatmadja, Mochtar., Perlindungan Dan Pelestarian Lingkungan Laut, Sinar Grafika dan Pusat Studi Wawasan Nusantara, Jakarta, 1992.
Mauna, Boer., HUKUM INTERNASIONAL: Pengertian, Peranan, Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, PT. Alumni, Bandung, 2005.
Starke, J.G., Pengantar Hukum Internasional, Edisi X, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
Syahmin A.K., Hukum Perjanjian Internasional, Edisi I, Unsri, Palembang, 2011
Tulisan:
Salam, Abdul Alim., Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Konvesni Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982) di Indonesia, Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia, Jakarta, 2008.
Website:
http://www.topix.com/forum/world/indonesia, diakses pada tanggal 12 April 2011
http://els.bappenas.go.id/upload/other, diakses pada tanggal 12 April 2011
http://id.wikipedia.org/wiki, diakses pada tanggal 14 April 2011
Perundang-undangan:
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia
1 komentar: