Studi Geopolitik dan Geostrategi Berbagai Kawasan Khususnya Di Timur Tengah, Asia Selatan dan Asia Tenggara
diposting oleh rinthania-kristi-fisip12 pada 18 June 2014
di Geopolitik dan Geostrategi - 0 komentar
Di sisi lain, ada beberapa negara arab yang tidak mendukung langkah Amerika seperti Suriah,Iran dan Lebanon. Kelompok kecil ini dimanfaatkan sebaik mungkin oleh Rusia untuk mengimbangi kekuatan barat yang telah berhasil menghimpun negara-negara arab lainnya. Akan tetapi, sejauh ini baru Iran yang turut andil dalam proses campur tangannya Rusia ke dalam stabilitas politik Timur Tengah mengingat Iran sebagian besar didukung oleh Rusia. Kekuatan militer yang hampir seimbang antara Israel dan negara-negara Arab membuat Amerika dan Israel mencari jalan lain untuk mendapatkan pengaruh di Timur Tengah yakni menggandeng negara-negara Arab yang moderat seperti Arab Saudi dan Mesir.
di Geopolitik dan Geostrategi - 0 komentar
TUGAS AKHIR GEOPOLITIK DAN GEOSTRATEGI ( JURNAL KE-4 )
Studi geopolitik dan geostrategi
merupakan srudi yang penting bagi para penstudi ilmu hubungan
internasional, karena dengan begitu para penstudi maupun sebuah negara
dapat mengerti bagaimana memahami sebuah mekanisme politik dan penerapan
strategi yang terdapat di dalam sebuah kawasan. Penulis di dalam
tulisan ini akan membahas mengenai geopolitik dan geostrategi yang
diterapkan di dalam kawasan Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia
Tenggara. Pertama-tama, penulis akan menjelaskan terlebih dahulu keadaan
yang ada di kawasan Timur Tengah. Wilayah timur tengah atau middle east selama ini seakan tidak lepas dari konflik dan kekerasan yang selalu menghiasi setiap headline
media-media seluruh dunia. Timur Tengah tempat dimana agama-agama besar
lahir, yaitu Islam, Kristen, Yahudi. Selain itu juga terdapat tempat
suci yang di klaim ketiga agama itu yaitu Jerusalem. Sangat ironis
tempat lahirnya agama yang mengajarkan kedamaian kepada setiap umatnya
menjadi wilayah yang nyaris jarang terdengar kata perdamaian.
Konflik di timur tengah pada abad modern
ini, sebenarnya sudah dimulai sejak perang dunia I dimana konfigurasi
politik jazirah arab waktu itu menjadi berubah setelah runtuhnya
Kekhalifahan Usmani di Turki. Kekosongan kekuasaan (vacum of power) itu
akhirnya diambil alih oleh Inggris sebagai pihak pemenang PD I yang
tentunya atas bantuan Amerika Serikat dan sekutunya. Potensi ketegangan
di Timur Tengah semakin terlihat setelah imigrasi besar-besaran entik
Yahudi dari eropa yang waktu itu tersingkir oleh rejim Nazi di Jerman
yang terkenal dengan peritiwa holocausts (Gerecht, Reuel Marc. 2008). Imigran itulah yang menempati daerah yang sekarang menjadi Negara Israel dan Palestina.
Sedangkan konflik antara Israel dan
Palestina sebagai isu dominan, adalah lahir dari konflik antara
Negara-negara Arab dengan Israel yang kemudian dikenal dengan perang
Arab-Israel. Selanjutnya, konflik-konflik terus bermunculan seiring
dengan semakin banyaknya Negara yang ikut campur di kawasan ini. Selain
itu semakin meningkanya ‘kekuatan’ Negara-negara Arab sendiri serta
berbagai situasi politik dalam negeri negara-negara tersebut juga
sebagai faktor yang menentukan terjadinya konflik di wilayah itu.
Konflik tersebut diantaranya, Perang Iran-Iraq (1980-1988), Konflik Iraq
– Kuwait (Agustus 1990-Januari 1991) dan Pendudukan Uni Soviet di
Afganistan.
Semua konflik-konflik tersebut tidak lain adalah dampak dari
international system yang mengendaikan konfigurasi politik
global oleh kekuatan besar (super power) yang merupakan sebagian dari
edisi Perang Dingin. Iraq memiliki 2 garis besar corak geostrategi yaitu
mempertahankan sumber daya minyak dan gas alam mereka dan bertahan
dengan hilangnya eksistensi AS sebagai back up pemerintahnya.
Permasalahan minyak dan gas alam di Iraq kurang lebih sama dengan
Indonesia. Mereka sama-sama memiliki sumber daya melimpah namun tidak
memiliki kapabilitas untuk melakukan eksplorasi seara mandiri. Selain
itu, Iraq juga terbagi menjadi 2 partai politik besar yang saling
berkontradiksi yaitu KRG (Kurdistan Regional Government) dan Iraq Federeal Government
yang disingkat Baghdad. 2 parati politik masih memperdebatkan entitas
mana yang seharusnya berhak menguasai minyak dan gas alam di Irak
(Al-Khatteeb 2013, 5).
Dalam konflik Timur Tengah, pada intinya
peran kepentingan dan kekuatan hegemoni sebagai pemegang struktur
global dalam hal ini Amerika dan sekutunya termasuk Uni Soviet, sangat
besar dalam mempengarugi konfigurasi politik Timur Tengah. Disamping idiosyncratic
(gaya kepemimpinan) serta struktur politik negara-negara Arab cukup
besar pula dalam mempengaruhi peta politik Timur Tengah. Termasuk faktor
ideologi, dalam hal ini konflik agama (Islam-Yahudi) juga tidak dapat
dipandang sebelah mata dalam membentuk struktur politik, minimal dari
sudut pandang masing-masing negara yang bersangkutan. Untuk lebih
jelasnya, konfigurasi politik dapat dianalisis dari peristiwa-peristiwa
historis dalam kawasan tersebut, sebagai berikut.
Pertama, konflik Iran –
Iraq (1980-1988), dimana peran Amerika sangat besar dalam membentuk
struktur politik Timur Tengah pada waktu itu. Sudah dapat diketahui
bahwasannya minyak adalah incaran utama AS (Barro, Robert J. and
McCleary, Rachel M.. 2002). Perlu diketahui bahwa Iran adalah negara
penghasil minyak terbesar setelah Arab Saudi. Selain itu, motivasi dari
kedua negara yang ingin memimpin Timur Tengah patut menjadi perhatian
mengingat sumber daya alam dari kedua negara tersebut yang begitu besar
sangat berpotensi menjadi hegemoni baru yang berarti mengancam Amerika.
Kondisi politik dalam negeri kedua negara juga mendukung, apalagi Iran
dalam masa Revolusi Islam oleh Khomaeni semakin gencar menjadi
kekhawatiran tersendiri dari Amerika yang berpotensi untuk menjadi
hegemoni baru termasuk Iraq sendiri yang khawatir revolusi itu akan
menggilas Irak yang sudah di ‘cap’ Sunni oleh Khomaeni. Bahka dengan
lantang mengatakan “Iran would not end the war until the downfall of President Saddam Hussein”.
Disini terjadi ‘keanehan-keanehan’,
keanehan itu tampak pada dukungan AS kepada Irak beserta Arab Saudi dan
disisi lain Israel mendukung Iran diikuti Syria. Secara singkat
sebenarnya dapat dilihat bahwa Arab Saudi jelas memiliki kedekatan
historis dengan Irak dari pada Iran yang Syriah. Amerika justru pada
pilihan yang sulit, sebab keduanya sangat berpotensi untuk menyingkirkan
AS di Timur Tengah, pilihan yang sulit itu jatuh ke Irak yang mana
kebencian ke Iran lebih tinggi mengingat kekhawatiran akan dampak
Revolusi Iran, apalagi dalam menggulingkan Shah Iran yang sangat dekat
dengan AS. Kedua,dalam konflik Iraq – Kuwait juga tidak lepas dari
campur tangan AS pada akhirnya. Walaupun niat pertama Iraq melakukan
invasi jelas bahwa Iraq berkepentingan atas Kuwait yang juga kaya
minyak. Iraq mengklaim bahwa Kuwait merupakan bagian dari wilayahnya.
Namun, pada akhirnya pun AS ’turun tangan’ dengan menerjunkan pasukannya
yang sangat terkenal dengan sebutan ’gulf war’ atas inisiatif presiden
G. Bush senior. Dari hal tersebut dapat kita lihat bagaimana kuatnya
kepentingan AS atas wilayah tersebut. Mengingat dengan munculnya Irak
sebagai kekuatan baru di Timur Tengah, sangat dikhawatirkan AS karena
jelas dominasi dan hegemoni AS di Timur Tengah akan berkurang atau
mungkin akan hilang jika Iraq benar-benar menjadi penguasa wilayah ini.
Ketiga, konflik Israel-Palestina.
Sebenarnya konflik antara bangsa Yahudi sebelum membentuk Israel dimulai
ketika imigrasi besar-besaran etnik Yahudi dari Eropa yang terdesak
rejim Hitler. Dengan berdatangannya bangsa Yahudi ke Palestina secara
besar-besaran, menyebabkan kemarahan besar penduduk Palestina. Gelombang
pertama imigrasi Yahudi terjadi pada tahun 1882 hingga 1903. Ketika itu
sebanyak 25.000 orang Yahudi berhasil dipindahkan ke Palestina.
Mulailah terjadi perampasan tanah milik penduduk Palestina oleh
pendatang Yahudi. Bentrokan pun tidak dapat dapat dihindari. Kemudian
gelombang kedua pun berlanjut pada tahun 1904 hingga 1914.
Pada masa
inilah, perlawanan sporadis bangsa Palestina mulai merebak. Sehingga,
menurut pendapat penulis,fenomena di Timur Tengah tidak pernah lepas
dari masalah Palestina-Israel dimana isu selalu menjadi inti dari Timur
Tengah. Turun langsungnya Amerika ke dalam kawasan Timur Tengah juga
dipicu dari masalah Palestina Israel dimana Amerika Serikat mencoba
menghindari terhapusnya Israel dari dunia akibat serangan gabungan
negara-negara Arab pada tahun 1973. Seperti diketahui bahwa Israel
merupakan perpanjangan tangan Amerika Serikat di Timur Tengah yang
dikemudian hari akan menjadi isu Politic Oil. Pasca Perang Arab
di tahun 1973,Amerika dan Israel mengambil pelajaran penting bahwa pada
saat itu negara-negara Arab tidak bisa dihabisi melalui peperangan
mengingat kekuatan mereka cukup besar mengingat peran besarnya Arab
Saudi dan Mesir pada saat itu.
Di sisi lain, ada beberapa negara arab yang tidak mendukung langkah Amerika seperti Suriah,Iran dan Lebanon. Kelompok kecil ini dimanfaatkan sebaik mungkin oleh Rusia untuk mengimbangi kekuatan barat yang telah berhasil menghimpun negara-negara arab lainnya. Akan tetapi, sejauh ini baru Iran yang turut andil dalam proses campur tangannya Rusia ke dalam stabilitas politik Timur Tengah mengingat Iran sebagian besar didukung oleh Rusia. Kekuatan militer yang hampir seimbang antara Israel dan negara-negara Arab membuat Amerika dan Israel mencari jalan lain untuk mendapatkan pengaruh di Timur Tengah yakni menggandeng negara-negara Arab yang moderat seperti Arab Saudi dan Mesir.
Kondisi geopolitik di Timur Tengah sungguh berbeda dengan geopolitik di Asia Selatan. Asia Selatan adalah sebuah wilayah geopolitik di bagian selatan benua Asia, terdiri dari daerah-daerah di dan sekitar anak benua India. Wilayah ini dibatasi oleh Asia Barat, Tengah, Timur, dan Tenggara.
Wilayah Asia Selatan meliputi 10% luas benua Asia, kira-kira 4.480.000
km² tetapi populasinya mencakup 40% populasi Asia. Kebanyakan dari
daerah itu mendapat pengaruh budaya India.
India merupakan salah satu negara bekas jajahan Inggris, dan seperti
negara-negara daerah imperialism Inggris lainnya, India juga
ditinggalkan kemajuan di bidang ekonomi dan teknologi. Isu-isu yang
sedang merembak di India terkait dengan kondisi demografisnya dengan
jumlah penduduknya yang banyak dan bersifat multikulturalisme
(Oldenburg, 2007), Sehingga tak ayal sering terjadi konflik-konflik
etnis dan muncul gerakan-gerakan separatisme.
Di samping semua itu, tak
dapat dipungkiri bahwa India merupakan kawasan yang memiliki pertumbuhan
ekonomi yang paling maju di kawasannya, hal ini mulai terlihat di era
globalisasi, dengan berubahnya kebijakan pemerintah India, yang tidak
hanya mengkonsentrasikan ekonominya pada sektor pertanian, tapi juga
mulai merambah ke sektor industri dan jasa, reformasi ini terjadi pada
tahun 1991. Hal ini juga tidak lepas dari kedekatannya dengan Amerika
Serikat, di mana Amerika Serikat berusaha untuk merangkul India sebagai
koleganya, hubungan ini semakin erat dengan dijadikannya India sebagai
salah satu buffering zone Amerika Serikat terhadap teroris.
Selain itu kedekatan India dengan Amerika Serikat dan Israel juga
terkait dengan bidang pertahanan dan pengembangan nuklir (Guttinger,
2011: 6). Selain dengan Amerika Serikat dan Israel, India juga menjalin
kerja sama bilateral dengan Rusia, Eropa, dan Asia Tenggara (Kapila, S.,
2000)
Menurut pendapat penulis, kemajuan
pertumbuhan ekonomi tersebutlah yang memunculkan keinginan India untuk
menjadi hegemoni di kawasan Asia Selatan. Kemudian Pakistan merupakan
negara yang terbentuk karena adanya kelompok-kelompok Islamis yang
dipimpin oleh Muhammad Ai Jinnah yang kemudian ingin melindungi
masyarakat muslim di India dari diskriminasi masyarakat Hindu di sana,
oleh sebab itu pada akhir tahun 1930 kelompok ini memisahkan diri dari
India dan mendirikan Republik Islam Palestina. Posisi Pakistan diperkuat
dengan warisan nuklir yang diberikan oleh USSR semasa Perang Dingin,
ini pula yang menjadikan Pakistan secara otomatis sebagai saingan utama
India untuk menjadi hegemoni di kawasan Asia Selatan. Hubungan bilateral
antara Pakistan dengan Amerika Serikat awalnya berlangsung baik, namun
semenjak ditemukan dan terbunuhnya Osama Bin Laden di Pakistan,
menjadikan kepercayaan Amerika Serikat terhadap Pakistan menjadi luntur.
Hal ini kemudian dipandang sebagai peluang oleh Cina untuk merangkul
Pakistan sebagai koleganya. Hubungan ini terjalin melalui String of Pearls
yang diciptakan oleh Cina ternyata melibatkan Pakistan, yakni melalui
pelabuhan Gwader yang 75% pembangunannya didanai oleh Cina, sebagai
timbal baliknya, Cina menjadikan pelabuhan tersebut sebagai pangkalan
angkatan militer laut Cina. Di samping itu, Cina juga membantu Pakistan
dalam pembelian Jet Tempur Cina JF-17.
Selain itu, di Asia Selatan juga terjadi
konflik India-Pakistan. Pertikaian di antara keduanya dilatarbelakangi
oleh perbedaan agama, budaya, dan ideologi yang sangat signifikan, hal
ini seperti membuktikan teori clash of civilization-nya Samuel
Huntington, dimana perbedaan kebudayaan yang sangat besar akan sangat
riskan menciptakan benturan antara kedua bangsa tersebut apalagi
mengingat bahwa antara India dan Pakistan, mereka berdua berbatasan
secara langsung satu sama lain. Ketegangan dua negara mancapai klimaks
pada September 1965 ketika pasukan India dan Pakistan kembali diarahkan
ke medan perang. Kesepakatan damai akhinya ditandangani pada tahun 1966,
tetapi tahun 1971 mereka kembali bertempur karena sengketa wilayah
Pakistan Timur yang kemudian menjadi Bangladesh sebagai akibat tidak
tertampungnya aspirasi politik (Baker, 2008).
Kepemilikan nuklir dan keberadaan dua
negara besar yang juga berbeda ideologi, selain keduanya juga menjadi
pemicu ketidakharmonisan hubungan antara India dan Pakistan, karena
masing-masing mereka menganggap bahwa yang lain merupakan ancaman bagi
keamanan dan tentunya menjadi penghalang mereka untuk menjadi negara
hegemoni di kawasan Asia Selatan. Selain itu, konflik antara dua negara
ini juga terkait dengan kepemilikan Lembah Kashmir yang dinilai
menyimpan banyak sumber daya alam dan sebagai salah satu tempat terindah
di dunia. sebenarnya sudah terdapat pembagian atas wilayah Kashmir,
yakni Pakistan yang mengontrol wilayah barat laut, India yang mengontrol
wilayah tengah dan bagian selatan Jammu dan Kashmir, dan Republik
Rakyat Cina yang menguasai wilayah timur laut (Aksai Chin). Namun,
setiap negara tidak mengakui adanya legitimasi kekuasaan negara lain
atas wilayah tersebut, dimana India tidak mengakui wilayah yang dikuasai
oleh Pakistan dan Cina, sebaliknya Pakistan juga tidak mengakui klain
India atas wilayah ini. Sementara penduduk Kashmir menginginkan
kedaulatannya sendiri yang jelas mendapat tentangan dari India maupun
Pakistan. Ada beberapa alasan mengapa hingga saat ini identitas Kashmir
masih menjadi status quo.
Pertama, pasukan tentara Pakistan
berambisi untuk mengalahkan India karena dulu Bangladesh melepaskan diri
karena mendapatkan bantuan dari India dan mengambil alih Kashmir.
Kedua, secara geopolitik Pakistan menganggap Kashmir sebagai kawasan
strategis namun tidak aman karena dikelilingi oleh kekuatan militer yang
kuat sehingga harus dilindungi. Ketiga, pandangan Islamiah mengenai
perang perebutan Kashmir adalah jihad karena Kashmir dianggap sebagai
basis umat muslim di Asia Selatan. Keempat, inisial “K” pada Pakistan
menunjukkan Kashmir yaitu Pakistan: Punjab, Afghanistan, Kashmir, Sind,
dan Baluchistan (Anon, n.d).
Namun kedua negara, baik India dan
Pakistan sudah mulai menunjukkan itikad baik untuk saling berdamai, hal
ini ditunjukkan dengan adanya perundingan antara para pemimpin negara
yang terjadi pada bulan Maret 2009 (Anon. n,d). India dan Pakistan
sepakat untuk tidak bersikap reaksionis terhadap isu-isu terorisme dan
fokus terhadap konsensus perdamaian yang mereka perjuangkan. Kesimpulan
yang data diambil dari paparan di atas bahwa hubungan antara India dan
Pakistan merupakan hubungan yang konfliktual. Hal ini didasari oleh
perbedaan kebudayaan keduanya, keberadaan Amerika Serikat maupun Cina di
belakang mereka, kepemilikan nuklir oleh keduanya yang kemudian dinilai
sebagai ancaman keamanan oleh masing-masing pihak, adanya perebutan
terhadap Lembah Kashmir, dan keinginan keduanya untuk menjadi negara
hegemoni di kawasan Asia Selatan (Gupta, S., 1996) Adapun geopolitik dan
geostrategik yang dilancarkan oleh masing-masing pihak hanya dinilai
sebagai ancaman oleh pihak lawan.
Secara keseluruhan konstelasi
geopolitik di India dan Pakistan berkaitan dengan isu terorisme,
persoalan nuklir, sengketa perbatasan di Kashmir, isu nasionalisme dan
globalisasi, prospek regionalisme di kawasan Asia Selatan, dan strategi
kekuatan eksternal untuk ikut mempengaruhi dinamika geopolitik di
kawasan tersebut. Asia Selatan selalu diiringi ketidakstabilan apabila
dua negara besar ini Pakistan dan India terus menerus memiliki hubungan
tidak stabil. Misalnya Pakistan selalu menjadi berseberangan dengan
India, dan menjadi sasaran tuduhan kelompok terorisme di Kashmir dan
serangan terorisme baru-baru ini di Mumbai, India (Pakistan Country
Profile, 2011). Dikarenakan ketegangan internal tersebut, Pakistan
selalu memainkan strategi ganda guna mengkonter India antara lain Cricket Diplomacy
yaitu menghalangi India berkoalisi dengan Uni Soviet pada era Perang
Dingin (Nasir, Haroon. 2009). Sementara Pakistan bersekutu dengan Uni
Soviet, saat ini Pakistan cenderung dekat dengan China, berhubungan
dengan Amerika Serikat terkait isu terorisme, dan lainnya (Overholt, H.
W., 2008).
Sedangkan Kawasan Asia Tenggara merupakan empat dari sembilan choke points strategis
yang tersebar di seluruh penjuru dunia, sehingga tidak mengherankan
isu-isu politik maupun keamanan kerap mewarnai konstelasi kawasan ini.
Dinamika geopolitik kawasan yang mewarnai perjalanan negara-negara Asia
Tenggara tidak terlepas dari interaksi yang dibangun antarnegara dalam
kawasan (Yudhoyono, n.d: 4). Potensi sumber daya alam yang melimpah
ditambah posisi yang strategis membuat kawasan Asia Tenggara kerap
menjadi sasaran geostrategi aktor-aktor di dalam dan luar kawasan,
bahkan tak jarang sejumlah kekuatan eksternal berupaya menyusupi maupun
menanamkan pengaruhnya di kawasan ini. Banyaknya aktor yang terlibat
kerap mengakibatkan clash of interests yang berujung pada
ketegangan.Hal ini bisa dilihat dari sengketa maritim di Laut China
Selatan dan Selat Malaka.
Kedua titik ini merupakan titik maritim dan
energi yang paling vital bagi sejumlah negara. Geopolitik yang akan
dibahas adalah geopolitik Asia Tenggara serta perspektif negara
Indonesia, Malaysia, dan Singapura terhadap posisi strategis Selat
Malaka. Dinamika geopolitik Indonesia banyak dipengaruhi oleh dinamika
kawasan. Presiden Yudhoyono (n.d) dalam artikelnya yang bertajuk “Geopolitik Kawasan Asia Tenggara: Perspektif Maritim”
mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki kepentingan geopolitik utama
untuk menjaga keutuhan dan kesatuan negara dari semua sektor, yakni
politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan.
Geostrategi pertahanan yang telah diupayakan Indonesia antara lain: (1) perjanjian Military Training Area (MTA)
dengan Singapura; (2) latihan militer bersama dengan Malaysia (KEKAR
MALINDO, MALINDO JAYA, ELANG MALINDO, AMAN MALINDO, dan DARSASA); (3) Joint Commission for Bilateral Cooperation bersama
Filipina terkait masalah Moro dan isu perbatasan; (4) kerjasama dengan
Thailand untuk menangani isu separatism; (5) penguatan kerjasama
pertahanan dengan ASEAN; (6) kerjasama dengan Eropa, Australia, China,
dan Rusia terkait pelatihan militer dan fasilitas perlengkapan TNI, dan
lain sebagainya (Universitas Indonesia, n.d: 40-41).
Sedangkan
Geopolitik Malaysia adalah mempertahankan keutuhan wilayahnya yang
dipisahkan Laut Natuna. Wilayah semenanjung dengan wilayah Sabah dan
Serawak juga dianggap menjadi salah satu tantangan geopolitik yang harus
dihadapi Malaysia di masa depan. Malaysia memiliki sejumlah hubungan
yang cukup intim dengan negara tetangganya, namun tidak bisa dipungkiri
bahwa ia masih menyimpan kecurigaan dan belum sepenuhnya percaya
terhadap negara-negara sekitarnya tersebut. Salah satu kecurigaan
Malaysia dilatarbelakangi oleh sengketa batas maritim wilayahnya dengan
Singapura dan Indonesia yang hingga kini masih belum ditemukan
solusinya. Geopolitik Malaysia juga mendapat ancaman terkait The Rising China yang mengklaim Laut China Selatan yang meliputi gugusan Spratly Island
(Yudhoyono, n.d: 4-5). Geostrategi yang dilakukan Malaysia antara lain
penguatan alutsista –kapal permukaan dan kapal selam− yang dipasok dari
negara lain; pembangunan pangkalan baru Tentara Laut Diraja Malaysia
(TLDM) di Lumut dan Sabah; dan pengembangan pangkalan Angkatan Laut di
Teluk Sepanggar (Sabah) demi memperkuat pertahanan maritim di kawasan
Laut Sulu, Laut Sulawesi, dan Laut China Selatan (Yudhoyono, n.d: 12).
Kemudian, Geostrategi Singapura dikenal dengan porcupine strategy yang dikembangkan dari poisonous shrimp strategy (Singapore Journal of International & Comparative Law, 1998). Porcupine strategy merupakan
strategi pertahanan yang berasumsi bahwa Singapura tidak akan bisa
mendestruksi secara total negara agresornya, namun pihak agresor
memiliki kewajiban untuk membayar kompensasi tinggi terkait tindakan
agresinya ke Singapura (Yudhoyono, n.d: 13). Strategi ini merupakan
basis pengembangan Angkatan Laut Singapura. Pertahanan negara ini begitu
kuat dengan kepemilikan kapal perang yang melebihi kebutuhan pertahanan
domestik. Pengembangan Angkatan Laut ini bertujuan untuk menjaga
keamanan SLOC Singapura di Selat Malaka, Laut China Selatan, Teluk
Persia, dan Laut Merah (Yudhoyono, n.d: 14). Ketiga negara di atas
memiliki peranan yang cukup signifikan terhadap pengamanan Selat Malaka.
Selat Malaka yang berada diantara Samudera Hindia dan Pasifik merupakan
jalur transportasi yang vital bagi sejumlah negara di sekitarnya.
Hal
ini tidak mengherankan karena hampir 72% kapal tanker seluruh dunia dan
lebih dari 500 kapal berlayar melewati kawasan ini setiap harinya
(Universitas Indonesia, n.d: 42). Selat Malaka memiliki ukuran panjang
sekitar 800 km, lebar 50 hingga 320 km, dan kedalaman minimal 32 meter.
Selat ini merupakan selat terpanjang di dunia yang digunakan sebagai
jalur pelayaran internasional. Sekitar 30% dari perdagangan dunia dan
80% dari impor minyak Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan, melalui selat
ini, yakni sekitar 11,0 Mb/d pada tahun 2003. (Rodrigue, 2004: 13).
Posisi yang strategis ini dinilai dapat mengundang kejahatan, misalnya
peredaran barang ilegal dan aksi perompakan laut.
Berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut
mengenai perspektif dan geostrategi Indonesia, Malaysia, dan Singapura
terhadap Selat Malaka. Indonesia memandang sebagian Selat Malaka sebagai
ZEE Nusantara. Dalam mengamankan Selat Malaka pun Indonesia berpedoman
pada ZEE ini. Dalam artikel yang bertajuk Singaporean Journal of International & Comparative Law (1998:
314), diketahui bahwa Indonesia memiliki strategi jangka panjang agar
tidak terlalu bergantung pada Selat Malaka melalui pemberlakuan jalur
lain, yakni Selat Sunda dan Lombok-Makassar (Singaporean Journal of
International & Comparative Law, 1998: 314). Sedangakan bagi Malaysia, Selat
Malaka memiliki arti penting bagi Malaysia mengingat lebih dari
setengah kapal milik Angkatan Laut Kerajaan Malaysia ditempatkan di
selat tersebut (Singapore Journal of International & Comparative
Law, 1998: 314). Malaysia mengklaim bahwa Selat Malaka merupakan bagian
dari perairannya yang berarti selat tersebut merupakan bagian dari
kedaulatannya. Berkaitan dengan Selat Malaka, Malaysia juga merespon
baik adanya rencana pembangunan jembatan Selat Malaka yang menghubungkan
Pulau Rupat, Indonesia, dengan Teluk Gong, Malaysia (Kampung TKI, n.d).
Dengan dibangunnya megaproyek jembatan ini, devisa negara dipastikan
akan mengalami lonjakan.
Kerjasama pertahanan yang digelar Malaysia
untuk mengamankan Selat Malaka antara lain (1) Malacca Strait Sea Patrol atau Masilindo Trilateral Coordinated Patrol bersama Indonesia dan Singapura; dan (2) The Eyes in the Sky oleh Malacca Strait Security Initiative (MSSI) bersama Indonesia, Singapura dan Thailand (Vavro, 2008: 13-14). Begitu juga dengan Singapura, mengingat Singapura merupakan negara yang “mini” dari
segi luas wilayah, maka kewaspadaannya terhadap negara lain menjadi
tinggi. Namun hal inilah yang menjadikan Singapura memiliki mentalitas
baja dalam mempertahankan wilayahnya. Sehingga tidak mengherankan jika
negara ini begitu concern pada pertahanan negaranya melalui
pemberlakuan anggaran pertahanan yang sangat besar. Nilai penting Selat
Malaka bagi negara ini bisa dlihat dari segi ekonomi dan strategis,
navigasi, sumber daya laut, dan pariwisata (Singapore Journal of
International & Comparative Law, 1998: 315). Dalam mengamankan Selat
Malaka, Singapura tidak mengambil langkah sendirian. Bersama dengan
Indonesia, Singapura mengadakan perjanjian mengenai Military Training Area (MTA)
pada tahun 2000 (Universitas Indonesia, n.d: 49). Masih berkaitan
dengan pengamanan Selat Malaka, keduanya juga terlibat latihan militer
bersama secara rutin dimana Singapura telah mendirikan Air Combat Maneuvering Range di Pekanbaru untuk digunakan bersama (Universitas Indonesia, n.d: 42). Strategi pertahanan Singapura, porcupine strategy, juga
bertambah kuat karena disokong oleh aktifnya Singapura dalam dialog dan
forum internasional terkait kerjasama keamanan (Cipto, 2007: 136-7).
Sehingga apabila disimpulkan dari ketiga
kawasan ini. Timur Tengah merupakan kawasan yang sangat sensitive dalam
hal geopolitik. Amerika Serikat yang hingga tahun 2000 didukung oleh
beberapa negara Arab membuat mereka menjadi semena-mena dan hal ini
menimbulkan efek negatif terhadap stabilitas kawasan Timur Tengah dimana
masalah Palestina Israel tidak membuat negara-negara arab yang sudah
berkoalisi dengan Amerika Serikat membantu permasalahan utama ini dari
kawasan Timur Tengah. Dengan berdiam dirinya negara-negara arab seperti
Arab Saudi,Kuwait,Oman,dan Mesir membuat Amerika dan Israel semakin
semena-mena dalam mengatur perpolitikan dan mengejar tujuan mereka dari
awal yaitu masalah minyak. Setelah negara-negara yang kaya akan minyak
sudah jatuh ke tangan Amerika, otomatis mereka mencari lagi negara arab
lainnya yang memiliki minyak banyak untuk memasok kebutuhan dalam negeri
mereka.
Tidak hanya itu,ada efek lain yang ditimbulkan dari masalah
politik minyak ini yaitu membangun jaringan dengan negara-negara arab
guna memuluskan jalan Israel dalam membentuk negara Israel Raya.
Sedangkan di Asia Selatan, secara keseluruhan konstelasi geopolitik di
India dan Pakistan berkaitan dengan isu terorisme, persoalan nuklir,
sengketa perbatasan di Kashmir, isu nasionalisme dan globalisasi,
prospek regionalisme di kawasan Asia Selatan, dan strategi kekuatan
eksternal untuk ikut mempengaruhi dinamika geopolitik di kawasan
tersebut. Misalnya Pakistan selalu menjadi berseberangan dengan India,
dan menjadi sasaran tuduhan kelompok terorisme di Kashmir dan serangan
terorisme baru-baru ini di Mumbai, India. Persoalan baru yang
melatarbelakangi hubungan dua negara yakni perbedaan pertumbuhan ekonomi
yang mana perekonomian India seakan lebih besar daripada Pakistan.
Sulit sekali untuk membuat perbandingan dua negara dengan satu atau dua
variabel determinan, misalnya kepemilikan nuklir dan perekonomian karena
tingkat kapabilitas nuklir dua negara ini masih simpang siur sehingga
sulit diestimasi. Asia Selatan selalu diiringi ketidakstabilan apabila
dua negara besar ini Pakistan dan India terus menerus memiliki hubungan
tidak stabil.
Selain itu,dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa
dinamika geopolitik ketiga negara dipengaruhi oleh dinamika kawasan
Asia Tenggara. Segala macam kebijakan geopolitik yang diambil tiap
negara berkaitan erat dengan fenomena-fenomena yang muncul di kawasan.
Selat Malaka sebagai salah satu choke point strategis di
kawasan Asia Tenggara memiliki arti penting bagi negara-negara
sekitarnya, khususnya dari segi ekonomi. Tidak mengherankan jika banyak
sekali aktor yang ingin menanamkan dominasinya kepada selat ini, baik
aktor intra maupun ekstra kawasan. Beragamnya kepentingan yang terlibat
tak pelak mengakibatkan terjadi ketegangan-ketegangan yang berujung pada
konflik. Sejumlah negara yang menyadari akan potensi konflik ini
berupaya melakukan tindakan preventif demi mengamankan kawasan perairan
Selat Malaka, mengingat ketidakkondusifan keamanan kawasan ini akan
berimbas pada konstelasi keamanan secara domestik maupun regional.
Penulis memandang bahwa konstelasi
keamanan Selat Malaka masih diwarnai sejumlah konflik tapal batas dan
kejahatan transnasional (terorisme, sea piracy). Seiring
globalisasi, nilai Selat Malaka ini akan terus bertumbuh dengan
intensitas perdagangan yang kian meningkat. Pertempuran kepentingan dan
upaya perluasan sphere of influence diprediksi masih akan
terjadi di selat ini, mengingat banyaknya keuntungan yang menggiurkan
dari nilai strategis yang ditawarkannya. Hal ini merupakan tantangan
bagi ASEAN agar semakin meningkatkan kiprahnya di kawasan. Sebagai
organisasi regional, ASEAN harus menjalankan fungsinya secara maksimal
dalam mereduksi setiap potensi konflik di kawasan ini agar tidak menjadi
konflik terbuka.
Referensi :
Al-Khatteeb, Luay J. 2013. “Natural Gas in The Republic of Iraq” (PDF). Harvard University’s
Belfer Center and Rice University’s Baker Institute Center for Energy Studies [online]
dalam www.gulfinthemedia.com/files/article_en/675702.pdf. [diakses pada 16 Juni 2014].
:
Anon, n.d. Global Security, Konflik India-Pakistan, [Online] dalam
Anon, n.d. Global Security, Konflik India-Pakistan, [Online] dalam
http://www.globalsecurity.org/military/world/war/indo-pak.htm [Diakses pada 16 Juni
2014]
Anon. n,d. India and Pakistan - Nuclear States in Conflict, [Online] dalam
war/india-pakistan/index.htm [Diakses pada 16 Juni 2014]
Baker, A., 2008. The Key to Afghanistan: India-Pakistan Peace, [Online] dalam
http://www.time.com/time/world/article/0,8599,1857953,00.html [Diakses pada 16 Juni
2014]
Barro, Robert J. and McCleary, Rachel M.. 2002. “Religion and Political Economy in an International Panel”. Harvard University
Cipto, Bambang. 2007. Hubungan Internasional di Asia Tenggara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gerecht, Reuel Marc. 2008. “A New middle East After All”. The Weekly Standard, vol 13, no.
22, pp. 1-8
Gupta, S., 1996. Kashmir: Study of India-Pakistan Relations. Bombay: Orient Longmans
Ian, Talbot (1999). The Armed Forces of Pakistan . Macmillan publishers
Guttinger, Anne F. 2011. India, Pakistan-ppt. Surabaya : Universitas Airlangga
Kapila, S., 2000. India-Israel Relations: the Imperatives for Enhanced Strategic Cooperation,
[Online] dalam http://www.southasiaanalysis.org/&5Cpapers2%5Cpaper131.html
[Diakses: 16 Juni 2014]
Nasir, Haroon. 2009. Membangkitkan kembali Prinsip-prinsip Pendirian Negara Pakistan
[Online] dalamhttp://www.commongroundnews.org/
article.php?id=25899&lan=ba&sid=1&sp=0 [Diakses 16 Juni 2010]
Overholt, H. W., 2008. Asia, America, and Transformation of Geopolitics. UK:Cambridge
Univesity
Pakistan Country Profile.2011. BBC News. [Online].
Tersedia dalam http://www.foreignpolicy.com/articles/2011/06/03pakistan_s_black_pearl
Pakistan Country Profile.2011. BBC News. [Online].
Tersedia dalam http://www.foreignpolicy.com/articles/2011/06/03pakistan_s_black_pearl
BBC Corporation, [Dikutip: 16Juni 2014]
Press. World Nuclear Association, n.d.. India, China, and the Non-Proliferation Treaty, [Online]
dalam: www.world-nuclear.org/info/inf80.html [Diakses: 16 Juni 2010]
Rodrigue, Jean-Paul. 2004. Straits, Passages and Chokepoints: A Maritime Geostrategy of
Petroleum Distribution. New York: Department of Economics & Geography, Hofstra
University., pp. 1-17. PDF Version.
Singapore Journal of International & Comparative Law. 1998. The Importance Of The Straits Of
Malacca and Singapore. Singapore: University of Singapore., pp. 301-322.
UNIVERSITAS INDONESIA. n.d. Defence Cooperation Agreement (DCA) RI – Singapura
[WWW] Available from: http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/133050-T%2027872
Faktor%20faktor%20penyebab-Metodologi.pdf [Diakses pada 16 Juni 2012]
Vavro, Caroline, 2008. Piracy, Terrorism and the Balance of Power in the Malacca Strait dalam
Vavro, Caroline, 2008. Piracy, Terrorism and the Balance of Power in the Malacca Strait dalam
Canadian Naval Review Volume 4, Number 1 (SPRING 2008)
YUDHOYONO, SUSILO BAMBANG. n.d. Geopolitik Kawasan Asia Tenggara: Perspektif
Maritim [WWW] Available from:http://binkorpspelaut.tnial.mil.id/
index.php?option=com_docman&task=doc_download&gid=5&Itemid=22
( Diakses pada 16 Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
ORANMG PINTAR UNTUK TAMBAH PENGETAHUAN PASTI BACA BLOG 'ROTE PINTAR'. TERNYATA 15 NEGARA ASING JUGA SENANG MEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' TERIMA KASIG KEPADA SEMUA PEMBACA BLOG 'ROTE PINTAR' DIMANA SAJA, KAPAN SAJA DAN OLEG SIAPA SAJA. NAMUN SAYA MOHON MAAF KARENA DALAM BEBERAPA HALAMAN DARI TIAP JUDUL TERDAPAT SAMBUNGAN KATA YANG KURANG SEMPURNA PADA SISI PALING KANAN DARI SETIAP HALAM TIDAK BERSAMBUNG BAIK SUKU KATANYA, OLEH KARENA ADA TERDAPAT EROR DI KOMPUTER SAAT MEMASUKKAN DATANYA KE BLOG SEHINGGA SEDIKIT TERGANGGU, DAN SAYA SENDIRI BELUM BISA MENGATASI EROR TERSEBUT, SEHINGGA PARA PEMBACA HARAP MAKLUM, NAMUN DIHARAPKAN BISA DAPAT MEMAHAMI PENGERTIANNYA SECARA UTUH. SEKALI LAGI MOHON MAAF DAN TERIMA KASIH BUAT SEMUA PEMBACA BLOG ROTE PINTAR, KIRANYA DATA-DATA BARU TERUS MENAMBAH ISI BLOG ROTE PINTAR SELANJUTNYA. DARI SAYA : Drs.Simon Arnold Julian Jacob-- Alamat : Jln.Jambon I/414J- Rt.10 - Rw.03 - KRICAK - JATIMULYO - JOGJAKARTA--INDONESIA-- HP.082135680644 - Email : saj_jacob1940@yahoo.co.id.com BLOG ROTE PINTAR : sajjacob.blogspot.com TERIMA KASIH BUAT SEMUA.